Mengakrapi Usia

Mengakrapi Usia
:yons achmad*

Manusia dibentuk oleh keyakinannya,
apa yang Ia yakini, itulah Dia

(Bhagawad Gita)

Usia. Ia adalah rahasia yang kita tak pernah bisa menangkapnya. Ia bisa datang dan pergi sesuka hati, semacam permainan hujan yang tiba-tiba datang ketika panas masih menyengat. Ia mengejutkan siapa saja. Tak peduli tua muda.

Pergantian tahun masehi telah datang. Tahun 2011 telah tiba. Usia siapapun juga bertambah menyertai setiap diri. Hanya saja, setiap orang berbeda kesadarannya tentang usia yang semakin tua, tentang usia yang semakin renta, tentang usia yang semakin senja. Usia, sejatinya Ia semacam pohon yang bergantung di akar yang rapuh, mudah tersapu angin, apalagi badai.

Apa yang tersisa dari usia kita?

Barangkali, satu-satunya yang tersisa hanyalah harapan. Ya, selagi kita masih punya usia, masih bisa menikmati usia, saat nafas masih menyertai diri kita, harapan itu masih tersisa. Harapan, ya, harapan itu masih ada.

Tentang harapan ini, saya teringat tentang kisah seorang nelayan yang tersapu badai di tengah samudera luas.

Ia terapung, hanya bersandarkan kayu-kayu bekas kapal yang hancur. Terombang-ambing, pasrah kemana mereka akan terbawa. Saat nafasnya masih tersisa, saat usia masih ada, satu-satunya yang ada hanyalah harapan, agar Tuhan menyelamatkan.

Kita, Anda, begitu juga saya, sepertinya tak jauh beda dengan nelayan itu. Kita, sejatinya sedang terombang-ambing juga di tengah dunia yang sulit diprediksi dan tak tentu arah ini. Yang kadang menjadikan kita pasrah. Tentu setelah rencana dan usaha dicanangkan. Akhir sebuah kisah sesuai harapan, tidak benar-benar bisa kita dapatkan.

Ada kesedihan, ada kegembiraaan dan keriangan. Suka, duka. Mereka sepertinya datang sesuka hart mereka. Sedangkan kita hanya bisa menerima begitu saja. Inilah hidup, kita sejatinya tidak bisa mengubah apapun semua yang datang. Yang bisa kita lakukan hanyalah mengubah pandangan. Kesedihan bisa kita pandang dengan kegembiraan ketika hati kita membacanya dengan cara yang berbeda. Itulah satu-satunya siasat yang bisa kita lakukan.

Begitu juga ketika kita bicara tentang masa depan. Ya, masa depan. Apa itu masa depan?

Konon, masa depan sejatinya adalah harapan. Lagi-lagi Ia tidak serta merta kita wujudkan sesuka hati kita. Lihat saja, banyak sekali orang-orang yang membuat resolusi. Semacam tekad dan sesuatu yang ingin diwujudkan pada tahun berikutnya. Tapi, apa daya, tak banyak yang benar-benar bisa mewujudkan.

Masa depan sejatinya memang tak pernah ada. Ia sejatinya adalah rangkaian kisah dan sebab yang kita buat hari ini. Ya, hasil keringat dari semuanya yang kita lakukan hari ini. Sekali lagi hasil keringat dari semuanya yang kita lakukan hari ini.

Layaknya sikap Ia dimulai dari pikiran. Makanya, dengan segala keterbatasan diri. Setelah saya pikir dan renungkan, di tahun baru ini saya hanya ingin mengubah pikiran, mengubah pandangan. Tahun baru dimulai dengan cara pandang baru, diikuti dengan sikap yang baru.

Itulah cara saya mengakrapi usia yang semakin senja. Saya tidak benar-benar tahu, saya tidak benar-benar mengerti apakah semua ini tepat. Yang saya tahu hari ini saya telah mengambil keputusan untuk mengubah pandang, mengubah sikap terhadap dunia. Sikap ini diam-diam mulai saya gerakkan.

Seperti kata Novelis Pram “Anak muda harus berani mengambil sikap, kalau tidak Ia tidak akan menjadi apa-apa”

Begitulah, bagaimana denganmu kawan?

Halim Perdana Kusuma : 1 Januari 2011

*Penulislepas, tinggal di Jakarta.

2 Responses to "Mengakrapi Usia"

esfand mengatakan...

aku mulai ngeblog lagi nih hehe

penakayu mengatakan...

eh..nge" Friday Jazz" lg kapan?