Sekolah Tanpa
Kelas
:yons achmad*
Apa guna sekolah? Para guru yang mengerti falsafah
pendidikan, pasti akan menjawab dengan tenang. Salah satu fungsi sekolah yang
melibatkan anak didik (manusia), sudah pasti bertujuan menjadikannya lebih
manusiawi (humanis). Sekolah bukan hanya
bagaimana meraih nilai yang bagus, lalu setelah lulus bekerja menjadi karyawan (buruh) perusahaan atau instansi pemerintah
(PNS).
Di Indonesia
sendiri, dikenal sekolah-sekolah resmi. Mulai dari SD sampai perguruan tinggi.
Juga ada pesantren-pesantren yang begitu
melimpah di negeri ini. Anak-anak muda kita kabanyakan melewati jenjang
pendidikan sekolah semacam itu. Hasilnya? Seperti kita saksikan sekarang ini.
Rata-rata, mereka menjadi karyawan dan pekerja dalam bidangnya masing-masing.
Namun teramat sedikit yang memilih bekerja secara mandiri atau membangun bisnis
sendiri. Itulah hasil dari kelas-kelas persekolahan kita.
Lantas, bagaimana mereka yang bersekolah tanpa kelas?
Ya, mereka yang kurang beruntung. Mereka mungkin pernah
mengenyam pendidikan, di sekolah berkelas. Tapi karena beragam sebab, akhirnya
tidak bisa melanjutkan pendidikan mereka. Atau, mereka yang memang berniat
tidak mau bersekolah di sekolah berkelas itu. Mereka lebih memilih bersekolah,
mencari ilmu dengan caranya sendiri dan berhasil.
Nah, bagaimana caranya?
Ide menulis kolom ini saya dapatkan setelah membaca Koran
Tribun Jateng. Koran itu meliput seorang lelaki paruh baya. Sudah berumur sekira 35 tahunan. Hanya lulusan
SMP. Penggembala bebek, kalau saya tak salah ingat. Pernah bekerja sebagai
penjual sprei tapi gagal. Ketika
diberitahu teman tentang prospek jualan online, diapun tiap hari menyempatkan
diri ke warnet. Habis rata-rata Rp 10.000 untuk sewa internet sekaligus
berjualan online. Tapi jualan spreinya, yang dijual online itu tak banyak
peminat. Menyerah? Tidak. Dia lalu memutuskan membuat semacam jurnal online
(blog), mengisinya dengan beragam artikel menarik dan ternyata berhasil
mendapatkan uang perbulan, karena pengunjung melakukan “klik” pada iklan yang
ditampilkan di media itu. Hasilnya, perbulan bisa mendapatkan pendapatan
sepuluh kali lipat dari gaji sarjana yang baru lulus dan bekerja.
Itu hanya salah satu contoh saja fenomena para pembelajar
yag bersekolah tanpa kelas. Setelah saya
teliti sepintas, ada modus unik kenapa mereka berhasil? Kuncinya, mereka fokus
pada mimpi dan target yang harus dicapai. Fokus belajar dari berbagai sumber,
termasuk mendatangi atau berkorespondensi dengan orang-orang (narasumber) yang
memang ahlinya. Begitulah cara mereka belajar. Hal ini tentu berbeda dengan
para pembelajar sekolahan dengan kelas dan mata pelajaran (kuliah) yang kadang
mereka tidak punya gambaran untuk apa mereka harus susah-susah belajar ilmu
tertentu itu.
Begitulah. Kadang. Kita memang mesti belajar banyak pada
orang-orang yang bersekolah tanpa kelas itu. Fokus dan kemudian berhasil.
Hasilnya? Urusan mereka selesai dan
akhirnya bisa mengabdikan dirinya untuk masyarakat di sekitarnya. Bukankah itu sebaik-baik manusia?
*Penulislepas @Senjakarta
0 Response to "Sekolah Tanpa Kelas"
Posting Komentar