Gang Rindu


Gang Rindu
Oleh
Yons Achmad*


Semenena-mena. Nama itu saya sematkan. Saya menyebutnya Gang Rindu. Tempat tinggal sementara saya di Senjakarta ini. Gang ini cukup terkenal seantero Halim Perdana Kusuma dan Cililitan, Jakarta Timur. Kisah kerusuhan kecil-kecilan, janda-janda centil, perkelahihan pemuda mabuk, ada di sini. Pun juga, masjid yang selalu riuh, Pak Haji dan Bu Haji banyak tinggal di Gang ini. Spiritualitas yang hidup. Penduduk gang ini, dibenci sekaligus di rindu. Tapi, saya lebih suka menyebutnya Gang Rindu.

Dari Pusat Grosir Cililitan (PGC), gang ini bisa ditempuh dengan membayar Rp 5.000 (naik ojek) atau Rp. 2500 (naik angkot). Ngesot alias jalan kaki juga boleh soalnya tak terlalu jauh. Beberapa kali saya juga ngesot, walau sempat beberapa kali juga ditabrak motor. Memang, para pemotor di Senjakarta ini memang sudah rada mirip setan. Kecuali beberapa yang sedikit agak lebih sopan.

Kalau kau sudah lihat plang ”GANG RINDU”, mampirlah ke warung sebelahnya. Ada warung kecil, penjualnya janda manis rada genit. Kulitnya bersih. Kalau digoda senang betul dia. Tapi jangan lama-lama di situ, sebab sangat berpotensi di palak oleh para pemuda tukang mabuk. Yang, saya juga sering diajak mabuk bareng. Tapi, berhasil saya tolak. Jaman sekarang masih mabuk? Ah itu mah kisah jaman jadul dulu. Lewat. Pemuda-pemuda itu aslinya baik-baik. Hanya pengaruh miras itu yang kadang bikin mereka agak sinting.

Masuk dikit, ada pembantu ABG yang seksi pada sebuah rumah mewah. Yang juga sering digoda pemuda-pemuda itu. Masuk lagi, ada ibu-ibu rada gendut yang sukanya pakai celana pendek. Mungkin dia begitu pede pahanya putih. Tapi paha besarnya itu bikin rada eneg. Tapi, ya itu soal selera. Saya memang kadang tak habis pikir dengan lagak gaya pakaian wanita. Jujur, tak semua saya suka.

Masuk lagi ada rumah Pak dokter yang tiap sore rajin sekali olah raga. Saya suka. Anaknya yang hitam manis, juga kelak pingin jadi dokter. Sekarang kuliah di Universitas Kristen Indonesia (UKI). Tiap saya konsultasi kesehatan sama anak itu, jawabnya hampir seragam ”Perbanyak minum air putih”. Ya ya ya.

Seberang gang, ada rumah Bu Haji, tempat nongkrong anak-anak Mesjid. Walau mereka itu sering main kartu, sering begadang sampai pagi, tapi, mereka rajin betul sholat. Kadang sering ada yang meledek kalau salah satu yang sering nongkrong di situ buru-buru ke masjid saat azan berkumandang. Komentarnya ”Baru masuk Islam nih ye, rajin amat sholat”. Hanya ledekan ringan, saya kira mereka tak benar-benar pingin mengejek. Hanya untuk menyegarkan suasana.

Masuk ke dalem lagi ada warung. Di sinilah saya membeli kebutuhan sehari-hari. Yang hampir setiap hari saya beli, dua gelas plastik susu kedelai dan kerupuk. Minuman dan camilan kegemaran saya. Penjaga warungnya ibu-ibu dari Jawa. Yang sudah saya anggap sebagai ibu sendiri. Yang mengajarkan saya tentang pentingnya hidup hemat, bagaimana harusnya mencari jodoh yang tepat, juga ilmu-ilmu praktis lainnya. Dari ibu ini, saya juga tahu ilmu cara memasang lampu bolam yang benar. Dulu saya sering pasang lampu dan patah. Ternyata bukan dipegang ujungnya, tapi pangkalnya ketika memasangnya. Ilmu sederhana yang saya tak bisa, tapi saya jadi mengerti setelahnya. Tapi yang tak saya mengerti, ibu itu masih tak percaya kalau saya juga orang Jawa. Entah kenapa.

Di depan warung itu, ada rumah lumayan besar tiga lantai. Di sinilah saya tinggal. Menempati salah satu kamarnya di lantai 2. Tempat saya bersemayam, tempat saya bertapa setelah dalam rentang waktu 3,5 tahun hidup di Senjakarta selalu pindah-pindah. Ini markaz saya yang ke 5. Sudah sekitar 6 bulan saya tinggal di sini.

Kamar No 09 tak terlalu lebar, tak terlalu buruk tapi saya menyukainya. Kamar ini, bagaimanapun juga adalah bagian dari Gang Rindu. Sebuah kisah yang selalu memberi warna baru. Di kamar ini saya merasa tenang, ruangan lumayan sunyi. Penerangan yang cukup plus kamar mandi sendiri. Tempat saya berkarya setelah seharian sibuk bekerja. Walau, sempat saya kaget suara pada tengah malam sekitar jam 2 di awal-awal menempati kamar ini. Suara aapa itu. Belakang saya tahu, itu suara tetangga yang sedang making love. Sial.

Yang paling membuat saya bersyukur, di Gang Rindu ini ada masjid besar yang tak terlalu jauh dengan kamar saya. Sehingga saya selalu menyempatkan diri sholat berjamaah. Ya kalau tidak sedang tergoda iblis saya mendatangi rumah Tuhan itu. Untuk sekedar menjemput dahaga spiritual di tengah oase kehidupan yang kadang mendadak gersang. Masjid itu, salah satu tempat favorit di Gang Rindu. Ditambah lagi, kadang terlihat senyum menawan putri Pak Haji menyembul dari balik pintu. Pada sebuah rumah disamping masjid itu. Sayang saya belum berhasil berkenalan dengannya. Cewek yang e-buset mirip Zascia Meca.

Inilah sepenggal kisah Gang Rindu. Apa komentarmu?


*Penulislepas, penyuka secangkir teh & perindu.

1 Response to "Gang Rindu"

anggi mengatakan...

cukup menarik tinggal di gang rindu, knapa namanya harus rindu??

hai kak, lama saya gak berkunujng ke blog ni.. :) sukses terus ya!