Ngaji ala Emha

Ngaji ala Emha
Oleh
Yon’s Revolta


Orang-orang menyemut…

Saya pun begitu, ada diantara orang-orang yang ingin menyaksikan Emha Ainun Najib (Cak Nun) dari dekat. Kapan lagi, jarang-jarang ada momen pentas musik religius seperti ini. Ya, di pelataran kampus STAIN Kota Kripik, Emha manggung bersama komunitas kiai kanjengnya. Musik sholawat nabinya pelan-pelan memasuki jiwa yang sengaja saya siapkan sedari rumah. Sengaja tersiapkan untuk mencoba meraba makna alunannya.

Selama ini, saya hanya bisa menikmati puisi-puisinya. Yang paling saya suka puisi “Jalan Sunyi”. Tepatnya, saya dengar lewat audio. Saya mengunduhnya dari dunia maya. Syairnya, memberikan motivasi tersendiri bagi saya untuk pelan-pelan berkarya, terus-menerus. Renungkan, lakukan, jangan pernah berhenti. Jalan sunyi, sendiri, kadang perlu untuk sejenak berkontemplasi, merenung atas tingkah polah hidup. Begitu juga dalam soal berkarya, kita perlu melakukannya.

Setidaknya, inilah spirit yang saya dapatkan. Tentu bukan menarik diri dari masyarakat, hanya sesekali saja, sejenak meluang waktu, mencipta karya. Yah, mungkin berbeda dengan tafsir Ehma sendiri. Tapi setidaknya, tafsir ini yang sementara saya ambil dari puisi Emha itu. Sejenak perlu menempuh “Jalan Sunyi”.

Sekitar pukul 21.00, Emha tampil…

Ngaji ala Emha mulai. Sebagai awalan, Emha memberi wejangan untuk nguri-uri kebudayaan. Dikatakannya, memang saat ini generasi muda telah dibanjiri oleh arus modernitas. Tapi, tetap saja perlu untuk mengetahui dan memahami kebudayaan sendiri, kebudayaan lokal, karena kelak akan memberikan identitas tersendiri bagi kita, jati diri kita. Awalan ini belum begitu menarik.

Kemudian, kejutan muncul…

Emha mengajak Pak Bupati naik panggung. Saya merasa was-was. Pikir saya “Pasti dikerjain ntar”. Rupanya, perkiraan saya meleset untuk sejenak. Emha, dengan rendah hati mempersilakan Pak Bupati untuk memberikan sepatah dua patah kata. Maka, mulailah dia berbicara. Garing, tentu saja. Seperti pada umumnya pejabat, kalau berbicara tak ada isinya.

Lantas, diberikan lagi mic ke Emha. Kembali “Pak Kanjeng” itu meneruskan siraman rohaninya. Kali ini masih sama, seputar pentingnya pengetahuan dan pemahaman budaya. Dia tanya ke publik, “Coba sebutkan cerita rakyat yang Anda kenal..?. Tak banyak yang menyebutkan, yang Emha dengar cuman cerita Joko Tarub. Dan dia bilang “Bagus, setidaknya ada yang masih ingat”.

Kemudian, isengnya muncul. Dia tanya ke Pak Bupati ”Yang lain apa Pak”, dijawab oleh Pak Bupati itu” Kancil nyolong Timun”. Jawaban ini disambar langsung oleh Emha “ Wah, kalau bab nyolong Pak Bupati pinter banget”. Sontak, kelakar Emha mengundang tawa publik. Pak Bupati terlihat pucat sekali. Spontan, saya juga ikut tertawa lebar. Awalnya saya puas bisa mentertawakan Bupati itu, tapi setelahnya kasihan juga melihatnya serasa mati kutu.

Inilah sekilas hasil ngaji saya dengan Emha, beberapa malam kemarin. Sebenarnya cerita diatas hanya intermezo saja. Pada intinya Emha menyerukan perdamaian dan keharmonisan dalam hidup. Seperti yang telah dilakukannya bersama komunitas kiai kanjeng, disaat ada konflik, hadir dengan pendekatan seni, pendekatan budaya agar mereka yang bertikai (contohnya kasus Sampit) bisa kembali menghargai nilai-nilai kemanusiaan, bahwa jalan kekerasan hanya menimbulkan semakin banyak korban saja.

Khusus untuk memilih pemimpin, Emha memberikan tips sederhana. Pandang dan rasakan sekilas, calon ini jujur dan punya kecenderungan peduli sama rakyat nggak. Kalau ya, bismillah, toblos saja. Begitu katanya.

0 Response to "Ngaji ala Emha"