Tegarnya Seorang Suami

Tegarnya Seorang Suami
Oleh
Yon’s Revolta

Dia memang lelaki tegar…

Keharuan menyelimuti hati saya ketika semalam mendengar kisahnya.

Laki-laki itu bernama Anjar Wahyu. Lahir tahun 1982. Masuk Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto tahun 1999. Perawakannya kecil, tapi ternyata punya impian besar dalam kehidupannya. Visinya jauh kedepan meninggalkan kawan-kawan seusianya. Salah satunya adalah niat bulat untuk menikah diusia muda. Ya, semenjak semester dua (2), ingin menikah. Namun, tak selamanya niat melangsungkan pernikahan berjalan mulus. Ketika niatnya itu disampaikan ke orang tuanya di Kendari, ibunya hanya bilang “Apa-apaan kamu, kuliah dulu yang bener”.

Dia hanya tersenyum kecut mendengarnya. Tapi, ia terima saja ucapan ibunya itu. Mungkin memang baru sebatas niat saja untuk menikah yang dianggap ibunya guyonan semata. Sejak itu, mulailah jiwa kemandirian dimilikinya. Jualan berbagai majalah dan baju muslim dilakoninya. Dia belajar untuk mencukupi kehidupannya sendiri. Dari hasil kerja sampingannya itu, dibelikannya beberapa buku tentang pernikahan dan dikirimkannya kepada ibunya sebagai bahan bacaan. Harapannya, tentu untuk membuat ibundanya memahami keinginan anaknya untuk menikah muda setelah membaca buku –buku yang dikirimkannya itu.

Di semester lima, dia sampaikan lagi niatnya untuk menikah. Kepada saudaranya, lantas menanyakan kabar dan reaksi ibunya setelah dikirimi buku-buku tentang pernikahan itu. Jawaban saudaranya membuatnya geleng-geleng kepala. “Buku-bukunya dibuang sama ibu Mas”, begitu kata saudaranya. Malah, ibunya kini sedikit mengurangi jatah uang bulanannya. Duh…kasihan sekali bukan.

Fiuuhhhh. Perjuangan masih panjang….

Mulailah dia merangkai kata demi kata. Mengirimkan berlembar-lembar surat secara rutin kepada ibunya. Tercatat delapan surat pernah dikirimkan kepada ibunya, satu surat berisi lebih dari lima lembar. Surat-surat itu sebagaian besar berisi argumentasinya tentang niatnya untuk menikah muda. Alasan yang diajukan, seputar gejolak jiwa mudanya yang tak tertahankan lagi. Untuk meredamnya, menikah menjadi solusinya. Menikah menjadi langkah solutif untuk menggenapkan separuh agamanya sekaligus membuat hidupnya serasa nyaman, begitu alasan yang ada dalam pikirannya waktu itu. Namun, surat-surat itu ternyata malah membuat ibunya semakin gerah.

“Kamu menghamili anak orang yah” begitu kata ibunya.
“Astaghfirullahhaladhim” katanya mengelus dada.
“Kamu pulang sekarang” lanjut ibunya.

Tak menyangka ibunya akan bilang begitu. Ya, saya harus pulang, pikirnya. Masalah ini harus dijelaskan secara jernih agar tidak ada fitnah dikemudian hari. Niat tulus ternyata memang tak selamanya mendapat apresiasi yang baik. Dia pun bersiap-siap pulang ke Kendari untuk bertemu ibu dan keluarganya menjelaskan perihal niatnya untuk menikah itu.

Waktu itu, lebaran kurang dua hari. Dia berangkat dari Purwokerto untuk menuju kampung halamanya di Kendari. Namun naas, ketika di pelabuhan Surabaya, dia ditodong dengan pisau oleh orang tak dikenal yang kemudian disadarinya kalau dia seorang perampok. Tas ransel beserta semua barang-barangnya dirampas oleh perampok tadi. Tak ada uang sepeserpun yang tersisa di kantong. Dia terlantar di Surabaya. Linglung, kemana harus makan dan mendapat biaya untuk bisa pulang ke Kendari.

Akhirnya, dia terpaksa datang ke sebuah masjid, menceritakan kepada pengurus masjid tentang kejadian tragis yang dialaminya. Alhamdulillah, pengurus masjid tersebut terketuk hatinya. Diberikannya baju ganti dan beberapa rupiah. Dengan bekal seadanya dari pengurus masjid tersebut, lantas dia gunakan kembali ke Purwokerto. Di Purwokerto, teman-temannya heran, katanya pulang kok kembali lagi. Setelah dijelaskan, akhirnya teman-temanya ikut berduka mendengar ceritanya sewaktu dirampok. Lantas, dia menelepon ibunya karena belum bisa pulang kampung karena kejadian tadi. Ibunya kaget bercampur khawatir. Entah, mungkin atas kejadian tersebut ibunya jadi berubah pikiran, membolehkan anaknya untuk menikah walau dengan satu syarat, keluarga besarnya tak boleh ada yang tahu. Tentu syarat itu terlalu berat, dia tak mau. Niat yang baik mengapa harus ditutup-tutupi, malah akan mendatangkan fitnah lagi dikemudian hari. Debat yang panjang, akhirnya sampai kata sepakat keluarganya menerima niatnya untuk menikah.

Kini, dia bingung, siapa gadis yang akan dinikahinya…

Tanpa pikir panjang, berkonsultasi dengan guru ngajinya. Lewat guru ngajinya itu, tertuju pada seorang gadis kakak kelasnya jauh. Seorang gadis bernama Dewi Hindriyawati, seorang sarjana hukum yang lahir tahun 1978, artinya umurnya empat tahun diatasnya. Tak jadi soal, pikirnya. Sekali melamar, langsung sukses. Si gadis sebelumnya juga tak tahu siapa calon suaminya itu. Ah, mereka memang sudah berjodoh.

Dengan persiapan seadanya, akhirnya mereka menikah.
Sang suami, sahabat saya tadi sudah memasuki kuliah semester tujuh.
Kebahagian, tak bisa terlukiskan dengan kata-kata, begitu pengakuannya.

Malam pertama, berlalu begitu saja. Mereka hanya bercerita kesana-kemari sampai jam tiga malam. Kejadian lucu terjadi, berulangkali istrinya memanggilnya dengan sebutan adik, maklum, dia memang adik kelasnya jauh sewaktu kuliah dulu. Tentu saja, membuat teman saya itu keki. Di malam pertama, hanya kejadian itu yang sempat diceritakannya, selebihnya mereka yang tahu.

Hari kedua, pulang ke Purwokerto untuk berbulan madu.

Di dalam bus mereka masih tampak kaku. Sang istri berkata “Mas, semalam marah ya”, dijawabnya agak gugup “Nggak kok”. Rupanya, sang istri merasa bersalah karena malam pertama berlalu begitu saja.

Setelah sampai ke Purwokerto, mereka naik becak berdua.
Katanya, ini adalah momen yang paling mesra sepanjang pernikahannya…

Hari-hari berlalu. Kehidupan menyelami bahtera rumah tangga dilaluinya. Tentu, ada ujian, onak duri yang pernah dilaluinya. Seperti perdebatan besar seputar masalah keuangan keluarga. Maklum, suaminya memang belum mempunyai pekerjaan tetap, untuk mencukupi kebutuhan keluarga, bekerja serabutan kesana kemari. Puncaknya, mereka saling marah. Lantas, sang suami pergi dari rumah.

Di sebuah masjid merenunglah dia. Mencari jalan keluar persoalan keuangan keluarganya. Lama sekali merenung harus berbuat apa. Ah, dia ingat, ketika masih bujang, pernah iseng-iseng berjualan gorengan dan nasi kucing model “Angkringan”. Kenapa tak dilanjutkan lagi usaha ini, pikirnya. Kemudian pulang ke rumah, meminta maaf kepada istrinya dan menyampaikan uneg-unegnya untuk berjualan gorengan sebagai jalan alternatif mencukupi kebutuhan keluarga yang memang sedang mengalami krisis.

Menuju kedapur, hanya ada satu kompor minyak dan satu wajan yang sudang hitam. Modal ditangan hanya sebesar Rp 20.000. Mungkinkah dengan modal dan perlengkapan itu bisa. Kalau mencari modal, cari kemana. Belum lagi, godaan-godaan pikiran menyelimutinya mengenai sosok mahasiswa yang berjualan gorengan. Bismillah, mengapa harus malu, yang penting halal, pikirnya.

Digeber motor tuanya membawa alat-alat penggorengan menuju lokasi berjualan di ujung jalan perumahan. Dia sudah lupa bagaimana caranya membuat bumbu gorengan. Untungnya, banyak ibu-ibu yang sebelumnya dikenal membantunya. Malah, lewat mulut ke mulut menyebarkan tentang adanya penjual gorengan baru di komplek perumahannya yang kelak membuat warung gorengannya ramai.

Bisnis gorengannya semakin ramai saja, lebih dari cukup untuk membiayai kehidupan keluarganya. Pelan-pelan bisa punya dua kompor gas dan wajan yang besar, walau awalnya sempat meledak karena bocor. Lewat, bisnis gorengannya itu, simpati berdatangan. Bahkan diberbagai forum, sosoknya kerap dijadikan contoh bagaimana mahasiswa perlu memupuk jiwa kemandirian dengan belajar berusaha sendiri, memulai bisnis sendiri semasa kuliah agar kelak ketika sudah lulus sudah terbiasa menghadapi persoalan keuangan. Dan tentu saja, kucinya tak perlu malu.

Sayang usaha itu tak berlangsung lama. Dia tergoda dengan bisnis multi level marketing (MLM). Bisnis ini benar-benar menyita waktunya. Harus bolak-balik Purwokerto, Pemalang, Subang (Jawa Barat), dengan mengendari motor. Melelahkan. Banyak yang menyayangkan mengapa berhenti berjualan gorengan, padahal untungnya sudah jelas. Tapi begitulah kehidupan, kadang tak sesuai dengan yang diharapkan.

Kembali dia berpikir, apa yang harus dilakukannya sekarang…

Anaknya kini sudah dua, tentu harus punya tabungan yang cukup untuk menghidupinya disamping bersiap-siap untuk mencukupi biaya untuk sekolahnya kelak. Minggu depan, dia akan menghadapi pendadaran untuk gelar sarjananya. Dalam hatinya tergores mimpi. Setelah lulus, akan tinggal di Kendari, disana, akan kembali membangun bisnis makanan yang lebih hebat dan besar lagi, begitu katanya.

Sementara, waktu sudah menunjukan hampir pukul duabelas malam.

Dia berpesan kepada saya, kalau punya impian, gempur terus aja, katanya. Hem… saya hanya mengangkuk pelan, mengiyakan. Malam itu, saya belajar tentang ketegaran menggapai salah satu impiannya. Dibalik penampilannya yang biasa saja, ternyata menyimpan sebongkah cerita yang bisa membangkitkan semangat saya. Diam-diam, saya semakin termotivasi untuk fokus mewujudkan impian saya yang sampai saat ini belum juga terwujud. Terimakasih kawan, semoga lulus ujian pendadaran dengan nilai baik dan di Kendari kelak, nasib baik juga menyertaimu.

Snow Man Lone
freelance_corp @yahoo.com

5 Responses to "Tegarnya Seorang Suami"

Anonim mengatakan...

Jika bersunguh2 utk mencapai sesuatu, Insya Allah akan diberikan jalannya....

Cerita ini bagus deh...
Semoga mereka menjadi keluarga SAMARA, penuh berkah... amin

Unknown mengatakan...

tuh punk, kalo punya impian, jangan dilakukan setengah2..

skripsi dah sampe bab brapa? ^_^

Bayu Bergas mengatakan...

Ini salah satu tulisan terbaik dari Yon. (Nikah lagi... nikah lagi... Udah pengen bangged ya! hehehe...)

Anonim mengatakan...

Aku suka postingan ini:) Great story...

Anonim mengatakan...

To: mnx

Kata siapa impian cowok ini adalah "lulus kuliah?". Menurut penerawangan batin saya, impiannya adalah "menikah!". Baca dong tema utama tulisan ini... Hehehe