Para Peminum Teh
Oleh
yons achmad*
Teh untuk kita berdua, dan kita berdua untuk teh
Aku hanya untukmu, dan kau hanya untukku
Oleh
yons achmad*
Teh untuk kita berdua, dan kita berdua untuk teh
Aku hanya untukmu, dan kau hanya untukku
(Irving Caesar)
Apa jadinya ketika para peminum sekaligus pecinta teh seluruh dunia berbagi cerita?
Semua tersaji manis dalam buku “Chicken Soup for the Tea Lover’s Soul”. Buku cantik bersampul putih terbitan Gramedia Jakarta, dengan alih bahasa oleh Donna Widjajanto. Yang terjemahannya apik, membuat nyaman dan tenang pembacanya. Persis semacam menyesap secangkir teh terbaik yang sangat enak. Lalu, apa cerita-cerita mereka?
1. Shirley yang tinggal di rumah kayu sebelah utara Wisconsin, seorang pekerja lingkungan, mengawali cerita dengan mengutip ucapan Eleanor Roosevelt “Perempuan seperti sekantong teh: Kau tak pernah tahu seberapa kuatnya, sampai dia masuk ke dalam air hangat”. Aha. Saya suka deklarasi magis ini.
2. Taylor sedang kesal pada bos brengsek gila. Yang selalu kasih pekerjaan numpuk di hari Jumat. Tahu hal itu, mertua baiknya berkata, “Duduklah”. Dan berjanji akan memberikan rahasia mengatasi bosnya. “Jadi teh ini-ini yang membuat para bos pergi” tanyanya. Ibu mertuanya berkata” Tidak, tidak ada yang bisa membuat mereka pergi. Tapi, teh ini bisa membuatmu melupakan mereka sejenak”.
3. Pearl Blanchett selalu mengawali harinya dengan secangkir teh yang mengepul. Semua itu terkenang saat ibunya selalu membangunkan anggota keluarganya dengan berkata” Bangun, Sayang. Teh kalian sudah siap”. Di akhir cerita, tercatat bahwa di Inggris Raya hanya 30% penikmat teh yang menambahkan gula atau pemanis buatan. Tapi 98% penikmat teh menambahkan sedikit susu pada teh mereka.
4. Lola Di Giulio, penulis cerita anak dari pegunungan San Bernardino, kadang sampai menangis saat teh menyatu dengan bibirnya “Aku rindu ibuku” katanya pada cangkir bertuliskan “Mom”. Teringat saat-saat dulu mengunjungi ibunya dan selalu dihidangkannya seteko teh panas yang diseduh diatas kompor. Meminumnya, untuk merayakan keberhasilan di hari itu.
5. Cheryl, suka berkebun, berkisah tentang ayahnya, duda berumur 62 tahun yang diundang oleh June ke rumahnya untuk minum teh. June janda menarik, berbusana rapi dan sopan dalam berbicara. Secangkir teh, ya ya ya. Ia bisa dijadikan alasan untuk sebuah pertemuan. Sekaligus, ini untuk menguji teori Sir Arthur Pinero “Di mana ada teh, di situ ada harapan”. Benarkah?
6. Anita Machek membawa kisah yang diakhiri dengan kalimat magis. “Teh ini nikmat dan menghangatkan tubuh kita, tetapi kebersamaan dan percakapan saat minum teh-inilah yang dapat menghangatkan jiwa kita”.
7. Lynne Drake. Seorang pendeta penyuka teh. Dia menganggap teh sebagai penyembuh segala macam penyakit. Kau lelah? Minum saja secangkir teh. Marah? Obatnya cuma satu, minum secangkir teh panas. Menerima kunjungan? Keramahanmu ditentukan dengan segera menyuguhkan teh begitu tamumu duduk. Kehilangan kata-kata? Saatnya kau minum teh. Setiap acara minum teh membawa berkat tersendiri. Setiap teko yang kita tuang selalu menandai langkah kita ke depan, menjadi fondasi yang besar nilainya...kepercayaan, rasa hormat, stabilitas, dan yang terpenting di atas semuanya, kasih tanpa syarat.
8. Yogesh Chabria berkisah tentang teh paling payah sedunia yang dijajakan dalam kereta. Penjual teh itu berteriak-teriak dalam kereta. “Benar-benar teh yang payah. Sekali menyeruput, Anda akan langsung memuntahkannya”. Jelas saja menjadi pusat perhatian seluruh isi gerbang kereta. Dasar Yogesh, pecinta teh sejati malah penasaran dan membelinya. Meminumnya dengan hati berdebar kencang. Dan tertipu, teh itu rasanya sama sekali tak terlalu buruk, malah nikmat. Dia bilang “Tadi kau bilang ini teh paling payah seluruh dunia, tapi ini bukan teh paling payah sedunia”. “Sir, kalau aku mengatakan yang lain, apa kau akan tertarik membelinya”. Begitulah, promosi teh paling “payah” sedunia.
9. Di ujung kisah yang berjudul “Teh Sensuali”, Carol Rehme begitu lembut lagi pandai menganyam kata bilang “Tidak masalah apakah teh dinikmati di atas tempat tidur pada musim semi, dinikmati di antara dedaunan di kastil-kebun tehmu, yang kelihatan dari pelapis berandamu pada senja musim panas, atau diminum saat duduk di sofa besar sambil mengenakan kaos kaki tebal pada musim dingin, selalu ada yang sama dalam secangkir minuman hangat yang menenangkan jiwa itu. Teh yang menggoda semua.
Begitulah, teh selalu menuangkan cerita bagi para pecintanya.
Di ujung senja, saya ucap terimakasih pada seorang teman, sesama pecinta teh yang berbaik hati meminjamkan buku ini. Ia penyuka teh tanpa gula. Katanya, dalam cerpen “Cardamon”: “Gula hanya candu yang mengelabuhi kenyataan”
Para peminum teh. Hai..kapan kita ketemu?
*Penulis lepas. Pecinta teh. Penikmat senja.
2 Responses to "Para Peminum Teh"
jadi, kapan?
saya suka tulisan2 mas..
Posting Komentar