Secangkir Teh, Novel dan Cinta
oleh
yons achmad
selepas senja
aku selalu rindu
pada secangkir teh
yang mengepulkan namaMu
Secangkir teh. Yakinlah, itu lebih nikmat dari bergelas-gelas kopi. Sejarah bercerita, minum teh, sudah bertahun-tahun menjadi tradisi turun temurun orang Jepang, Cina, Eropa dan tentu saja keluarga Indonesia. Lain halnya dengan meminum bergelas-gelas kopi. Aha, itu tradisi orang Amerika.
Kau pilih yang mana? Ah soal selera memang tak perlu diperdebatkan ya. Kita boleh berbeda, mungkin kau suka beregelas-gelas kopi, sedang saya suka secangkir teh sederhana tanpa gula. Yang pasti kita bisa tetap duduk bersama, di sebuah kafe pada sebuah senja, bicara warna Jakarta yang masih butuh sentuhan cinta kita.
If you are cold, tea will warm you
If you are too heated, it will cool you
If you are depressed, it will cheer you
If you are excited, it will calm you
WE Gladstone 1865
British Prime Minister
Secangkir teh...
Ia bukan minuman biasa. Bagi para penyukanya, secangkir teh bisa memberikan sensasi tersendiri. Sebuah rasa tenang dan rileks, sehingga darinya kadang kita bisa tersenyum mengingat kembali kisah-kisah diri kita sendiri yang kadang konyol dan tak rasional dalam menjalani hidup.
Misalnya iseng mengecek saldo uang di mesin ATM yang kita tahu kosong belaka. Berharap siapa tahu datang rejeki langsung dari langit masuk ke dalam rekening kita. Benar-benar sebuah kekonyolan. Atau berharap kaya raya padahal waktunya lebih banyak dihabiskan di tempat tidur. menunggu tuyul keajaiban. Sungguh irasional.
Nah,meminum secangkir teh adalah momentum untuk berefleksi, momentum yang tepat untuk bercermin bagi diri kita. Biasanya, yang demikian hadir pada waktu-waktu petang, waktu-waktu senja sehabis seharian kita bekerja. Berhenti sejenak, untuk sekedar mentertawakan diri sendiri. Menghitung-hitung kekurangan. Hilangnya semangat, etos kerja yang rendah, tak efektif menggunakan waktu atau keputusan-keputusan yang salah melulu. Kemudian setelahnya, sedikit sok bergaya, berniat berbuat yang lebih baik lagi pada esok hari. Tentu untuk mendapatkan sebuah hasil yang lebih berarti. Agar hidup tak hanya kosong dan omong kosong.
Secangkir teh...
Ia bukan minuman biasa. Konon, dalam teh terdapat zat theanine yang berfungsi meningkatkandaya konsentrasi bagi para peminumnya dan memberikan perasaan tenang pada gelombang otak manusia. Juga mengandung zat antioksidan, yaitu senyawa kimia yang mampu menghambat penuaan serta bisa mengatasi bermacam penyakit. Hasil penelitian Pusat Penelitian Antioksidan di London dalam jurnal Free Radical Research menjelaskan bahwa kandungan antioksidan 2 cangkir teh setara dengan 7 gelas jus jeruk atau 20 gelas jus apel. Lalu dalam segelas kopi? Tak ada.
Kemarin malam, saat saya ke rumah klien, seorang dokter Rumah Sakit Dharmais untuk membuat biografi kehidupannya, saya menanyakan apakah benar ada khasiat teh seperti yang tersebut di atas. Dan Pak dokter itupun mengiyakan. Nah, dengan demikian kita bisa yakin bahwa teh selain sebagai hobi juga berfungsi sebagai minuman kesehatan.
Tapi, ada pemandangan aneh di sebuah kafe teh bilangan Jakarta selatan. Ditempat tersebut konon ada beberapa pengunjung meminum teh dan dibebaskan untuk sambil menghisap rokok. Racun dari ujung neraka. Saya kira, ini adalah kombinasi yang buruk. Walaupun memang, kebiasaan demikian tak ada yang bisa melarang selain Tuhan dan dirinya sendiri.
Padahal, elok nian misalnya mengkombinasikan secangkir teh dengan, yah, kentang goreng misalnya. Tak terlalu buruk bukan? Ditambah dengan menikmati opera hidup manusia dalam sebuah novel. Sungguh, bisa mendatangkan energi cinta yang luar biasa. Sebab, walaupun dunia novel sebatas imaji, darinya kita juga bisa belajar tentang rasa kemanusiaan yang bisa jadi telah hilang dalam diri kita. Dan hanya cinta yang bisa mengembalikannya.
Semuanya itu bisa bermula lewat secangkir teh yang sederhana. Maka, wajar kiranya kalau ada orang yang menggambarkan bagaimana dahsyatnya secangkir teh itu. Misalnya seperti kata Lu Yu, seorang sastrawan ternama, yang mengatakan bahwa teh adalah “Embun Termanis Dari Surga”. Aha. Kata-kata ini saya suka. (*)
5 Responses to "Secangkir Teh, Novel dan Cinta"
tai sayangnya saya lebih suka secangkir susu, he. menarik pemaparannya.. :)
:p pasti hbs beli chiken soup for the tea lovers soul juga yah?ikut2an nih :p
Kang Abid@ sip soal selera memang tak bs diperdebatkan he he
Muth@ eh ada bukunya yak. lom beli. pinjem duonk ^_^
Numpang nongkrong di cafenya...
nyastra bgt
saye suka saye suka
kamu nulis ini untuk siapa? Juni 2011 ;)
awwww no wayyy
Posting Komentar