Jingga
yang Mendewasa
Oleh:Yon’s
Achmad
Di
pantai Kuta, Pulau Dewata untuk pertama kalinya. Saya duduk sendiri. Sekian
tahun lalu. Memandang senja dengan
perasaan yang tak jelas ke mana arahnya. Hanya gumam kecil yang sempat ada
dalam memori. “Kelak, kalau punya anak, saya akan beri nama dia Jingga”.
Semacam jalan pengingatan. Atas
kekaguman pada senja. Yang setiap kali saya pandang, menjadikan diri ini terasa
tidak ada apa-apanya dibanding Sang Maha Pencipta.
Sementara
waktu terus merangsek. Menggerogoki usia saya. Tidak ada tanda-tanda siapa ibunya Jingga.
Di
pantai Kuta, pulau Dewata untuk keempat kalinya. Saya duduk sendiri. Memandang senja dengan
perasaan yang sama, tak jelas ke mana arahnya.
Tapi, sebenarnya, di situ ada
seseorang yang kelak menjadi ibunya Jingga. Tapi, saya belum menyadarinya.
Seseorang, yang ketika saya sudah kuliah semester dua, dia masih anak ingusan
di bangku Sekolah Dasar.
Saya
mengenalnya. Tiga bulan kemudian, kami menikah. Dengan perayaan yang ala
kadarnya. Satu setengah tahun kemudian,
lahirlah “Jingga Kanaya”. Sebuah nama yang menjadi harapan ayahnya. Sang ayah
punya mimpi sederhana, dia menjadi seorang gadis yang lembut seperti
senja, serta punya jalan penghidupan
yang penuh kebahagiaan seperti arti namanya.
Jingga,
kini sudah mulai mendewasa...
Di
suatu senja. Kami tiduran di rerumputan. Memandang angkasa luas. Dia memegang
pesawat dari kertas, lalu kami menerbangkannya bersama-sama. Salah satu kini yang saya dapatkan dalam kebersamaan. “Aku mau jadi kesawat, aku
mau jadi kesawat” teriaknya. Maksudnya pesawat. Saya biarkan dia berimajinasi.
Sebab saya percaya, imajinasi lebih penting dari sekadar ilmu pengetahuan
sekalipun. Saya tak berhak menginterupsinya.
Jingga
yang mendewasa...
Kami
terus berkelana. Modal saya menjajakan kata-kata. Itu saja. Hanya
itulah jalan kami menghidupi keluarga. Sekian lama kami tinggal di Jakarta .
Sampai kemudian, ibundanya tak tahan. Kami menyingkir ke belakang Universitas
Indonesia. Di sini. Lagi-lagi, kami
memang menerima hidup secara sederhana pula. Tapi, yang membuat kami senang, kami semakin “mabuk” kata-kata. “Mabuk” buku-buku. Dan perpustakaan terbaik
selalu menjadi incaran kami saat berkelana.
Mungkin ini takdir penghidupan saya membesarkan Jingga. Bersama
kata-kata, buku dan segala cerita tentangnya.
Jingga
yang Dewasa...
Di
bangun selalu pagi. Mengajarkanya ikut
sembahyang dan berdoa. Saya memandikannya, lalu mengajaknya makan sambil
jalan-jalan. Mendampinginya bermain sepanjang hari. Itulah rutinitas kami
sekarang ini. Kami menyelinginya dengan
membaca buku-buku, sementara, saya bekerja di malam hari. Mulai pukul 8 sampai 12 malam. Kami selalu berusaha bahagia, walaupun
ternyata, di saat-saat tertentu, Depok
macetnya lebih parah dari Jakarta.
Jingga...
Semakin
mendewasa. Sudah hafal beberapa doa dan banyak lagu-lagu. Gadis saya yang tak
bakalan mau tidur sebelum didongengkan cerita beraneka rupa. Sebentar lagi, dia
akan bersekolah. Saya kadang berpikir
kalau dia kelak menjadi penghafal
Alquran saja. Setelah berhasil, mungkin
akan saya biarkan misalnya dia belajar arsitektur atau menjadi animator. Ah. Membersamai Jingga mendewasa. Seru juga
ternyata. Saya kadang merasa kalau hidup ini tidak berguna. Saya tak punya banyak kontribusi bagi dunia. Tapi,
setelah lahirnya Jingga. Setidaknya, saya menjadi sosok manusia yang
semoga sedikit berguna untuknya. Saya
selalu berusaha menjadi teman yang mengasyikkan baginya. Walau dengan cara-cara yang sederhana saja.
Mendewasalah Jingga. Tumbuhlah apa adanya.
Mendewasalah Jingga. Tumbuhlah apa adanya.
Depok,
18 September 2017
0 Response to "Jingga yang Mendewasa"
Posting Komentar