Kepala Semut VS Ekor Gajah


Kepala Semut VS Ekor Gajah
Oleh: Yons Achmad*

Apa bekerja (kantoran) sekaligus bisnis bisa berjalan beriringan? Jawabnya mungkin bisa. Tapi tidak bakal maksimal. Bahkan ada kemungkinan salah satunya bisa berantakan. Satu-satunya solusi agar bisa fokus bisnis adalah keluar dari kerjaan kantoran, keluar dari bayang-bayang kantor atau pemilik perusahaan tertentu. 

Kalau kita petinggi perusahaan memang agak berat. Tapi kalau kita hanya staf biasa, bukan orang penting di perusahaan, maka, memutuskan untuk keluar dan bangun bisnis sendiri itu lebih mengasyikkan. Walaupun tentu saja pilihan ini perlu nyali juga. Tepatnya nekad.

Saya sendiri, sebagai orang Jawa (Magelang), memang sudah didoktrin untuk jadi “Priyayi”. Artinya, sekolah setinggi mungkin. Nah, kelak, kalau sudah selesai, jadilah pegawai. Pelan-pelan menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan maupun perusahaan swasta. Setelah umur senja, menjadi pensiunan. Merawat cucu. Atau mungkin sambil berkebun sampai ajal menjemput. Ini siklus kehidupan yang  rata-rata didoktrinkan para orang tua Jawa, terutama di kampung saya.

Seingat saya. Tak ada yang jadi pebisnis. Kami, orang kampung yang merantau di Jakarta rata-rata menjadi PNS, pekerja pabrik atau pekerja kantoran lainya. Sisanya, yang menjadi pebisnis hampir tidak ada.  Kalaupun ada paling 1 atau 2 saja. Saya sendiri sekian tahun juga menjadi pekerja kantoran, tapi, mencoba nekad. Mencari peruntungan lain.

3 bulan sebelum menikah saya memutuskan keluar dari pekerjaan kantoran. Gayanya, sejak saat itu saya punya perusahaan sendiri. Walau belum resmi terdaftar menjadi PT secara legal. Tapi bisnis tetap jalan. Masalah legalitas bisa diurus sambil jalan. Walau bagaimanapun juga, urusan legal ini tetap harus selesai. Agar bisnis bisa meliuk ke sana ke mari dengan mudah.

Ibarat kata, orang seperti saya ini mungkin “Kepala Semut”. Sementara orang-orang “besar” dalam sebuah perusahaan tertentu,  mungkin jabatannya mentereng. Tapi tetap saja sebagai “Ekor Gajah”. Menjadi “Kepala Semut” itu pilihan hidup saya. Tidak hidup dalam bayang-bayang orang lain. Bebas bersuara kritis, berani berkata TIDAK pada apapun yang tak sesuai dengan prinsip serta pandangan hidup saya.

Sebagai “Kepala Semut” saya tidak akan menggerakkan “Semut-Semut” lain. Tapi, bagian semut lainnya itulah hidup saja. Jadi, saya tidak memisahkan antara saya dan tim. Saya adalah bagian dari tim itu sendiri. Maju dan terus bergerak, sampai akhirnya ditutup dengan cerita mengasyikkan nan membahagiakan.

Filosofi “Kepala Semut” ini kini masih saya pegang erat. Cepat atau pelan, melangkah ke depan. Siapa tahu bisa mengalahkan “Gajah”.  Siapa tahu. Ahn  maaf, afsu saya tidak mengalahkan. Tapi,  hidup bersama dalam  kebun kehidupan.  Terakhir, wahai para “Kepala Semut” sudah saatnya kita bangkit dan menjadi pemenang dalam kehidupan.

*Kolumnis. Founder Kanetindonesia.com.


Palmerah,  6 September 2017

0 Response to "Kepala Semut VS Ekor Gajah"