Perjalanan Agama Cinta

Perjalanan Agama Cinta

:yons achmad*

Jika kau bukan seorang pecinta, jangan
pandang hidupmu adalah hidup.
Sebab, tanpa cinta segala perbuatan tidak
akan dihitung pada hari perhitungan nanti.
Setiap waktu yang berlalu tanpa cinta, akan
menjelma menjadi wajah memalukan di
hadapan Tuhan

(Jalalludin Rumi)

Eliza namanya, teman SD saya. Gadis beragama Nasrani. Kami dulu bersekolah di SD Kanisius. Sekolah ini milik orang Katholik. Di depan sekolah kami, ada gereja menjulang, gereja untuk beribadah satu kecamatan. Gereja itu, sekira satu kilometer dari rumah saya.

Di belakang gereja, ada kuburan, entah punya keluarga siapa. Yang tersimpan dalam ingatan, kami berdua pernah duduk santai di kuburan belakang gereja itu. Mengobrol sambil makan jajan masing-masing.

Elisa namanya. Dia Katholik dan saya Islam. Kami saling menabur kasih. Tak pernah saling menebar benci. Lebaran lalu kami bertemu dan rasa itu masih seperti dulu. Selalu berwajah harmoni. Itu kisah masa kecil kami.

Saya yakin. Setiap agama menaruh hati pada cinta. Begitu juga Islam, agama saya. Yang selalu digambarkan orang-orang sana. Media-media. Tentang orang Islam yang bengis, di cap teroris, suka perang; tidak toleran saya kira kurang begitu tepat.

Agama saya adalah agama cinta.

Rasanya, yang demikian tidak begitu adanya.

Saya memang mengenal agama belum lama. Di mulai dari kelas 2 SMA Begarlish High School Magelang. Saat sekolah itu, saya diajak masuk pesantren. Awalnya saya menolak dengan ribuan alasan, tapi akhirnya menerima. Pagi, sore, malam di habiskan di asrama belajar agama. Siangnya belajar di sekolah umum.

Lewat proses itu, saya mengenal agama dari gus-gus anak kiai NU di pesantren itu. Namun, di sela-sela waktu, saya juga terombang-ambing dengan begitu banyak aliran atau kelompok agama.

Mulai dari jamaah Tabligh, pergi jauh berkeliling-keliling kampung mengajak orang sholat, lalu ikut jamaah Salafi yang ajarannya saya pikir terlalu kaku tapi pemahaman bahasa arab dan hadist-hadinya hebat, kemudian sedikit sentuhan NII yang sebelum berhasil di baiat (disumpah setia) saya kabur.

Lulus SMA, saya ikut pers mahasiswa yang kebanyakan berideologi kiri (sosialis), saya pun tenggelam di dalamnya selama 2 tahun. Massa ini banyak sekali saya membaca buku-buku pergerakan orang-orang kiri serta buku teori-teori sosial progresif (maju) tapi non profetik (kering spirit, tidak punya ruh spiritualitas)

Sebab tak tahan kemana ujung perjuangan dan rasanya spiritualitas begitu mengering akhirnya saya berhasil dibujuk untuk bergabung sama anak-anak masjid kampus. Ikut kepengurusan Lembaga Dakwah Kampus (LDK), mendaftarkan diri di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), lalu tiba tiba ikut aktif di Jamaah Tarbiyah (PKS).

Kemudian setelah kabur dari kampus, saya merantau bekerja di Jakarta. Di sinilah rasa-rasanya agama saya jadi berantakan. Saya mulai kehilangan pegangan. Saya meraba-raba kembali agama cinta saya. Agama yang saya yakini kebenarannya. Agama yang tak akan membakar masjid atau mengusir penduduk ketika mereka berbeda keyakinan. Agama yang bisa membuat hidup damai dan tenang dengan agama lain asalkan mereka tak berbuat curang.

Jalan agama cinta dari kelompok-kelompok yang sama masuki diatas mungkin semua benar. Tapi belum sanggup menjawab rintihan jiwa saya, spiritualitas saya yang begitu haus. Hingga, saya menemukan jalan agama cinta.

Agama yang mengajarkan interaksi dengan Tuhan bukan lewat rasa takut dan hukum-hukum yang kaku tapi lewat tenggelam dengan mahabbah cinta. Agama yang mencintai sesama. Agama yang meyakini kebahagiaan sempurna bukan semata-mata setelah bisa berbuat baik dan bisa memberi sesuatu kepada sesama, tetapi kebahagiaan sempurna adalah ketika kita mengenalNya dan kelak bisa memandang wajahNya.

Itulah agama cinta, dan kini saya sedang “tenggelam” di dalamnya. []

Jakarta: 22 Oktober 2010/08.26

*Penulislepas, tinggal di Jakarta

11 Responses to "Perjalanan Agama Cinta"

Hilmy Nugraha mengatakan...

agama itu candu, tapi candu yang indah.

begitu ya mas?

penakayu mengatakan...

Hilmy@ ya begitulah. Ia pelarian terakhir :-)

Henny Listyowati mengatakan...

Hi Mas Yons,

Salam kenal, ya..syukurlah kalau tulisanku "kembali" bisa menjadi inspirasi bikin novel..hehehe...

Agama?? hmm....all talks about love...

Valencia Maximillian mengatakan...

tulisan ttg agama yang bagus dan menginspirasi mas.. :)
so sweet bgt ya masa kecil mas sama si "E" :))

Valencia Maximillian mengatakan...

tulisan ttg agama yang bagus dan menginspirasi mas :)
so sweet bgt ya masa kecil mas sama si "E" =D

Laura Permana mengatakan...

hey mas.. masih inget aku tidak??
hehhee..
pesta blogger kemaren sampai jam brapa mas disana?
ikutin sampai slesai?

Laura Permana mengatakan...

mas masih ingat saya gax?
hehheee..
kemarin pesta blogger ikutin sampai abis gax mas?
seru gax?

Naser mengatakan...

wah bang yons lagi mencari kebenaran ya :D
kalo ada yang pemahaman bahasa arab dan haditsnya hebat kenapa ditinggalkan bang?bukannya Islam itu berpegang pada Al-Qur'an dan hadits (sunnah) yang semuanya dpt dg mudah kita pelajari apabila kita menguasai bahasa Arab.
Klo kaku itu sih relatif, mungkin karena kita belum mengenal lebih dalam, serta terbiasa hidup di tengah2 pluralisme, sehingga hukum2 Islam terasa sangat berraaat dan membebani:)padahal kalo kita pelajari secara keseluruhan Islam itu sangat Indah dan penuh cinta..
semoga bang yons mendapatkan apa yg dicari...sori klo kepanjangan.

Unknown mengatakan...

Salam kenal... aku Follow ya mas, Mohon follow balik yah, postingannya sangat inspiratif, tq Sharingnya ya mas...

dhodie mengatakan...

Agama itu jawaban, bukan pelarian.. *komen dari orang yang lagi jauh dari cahaya agama* :D

Pinokio mengatakan...

Artikel dan blognya bagus juga, komentar juga ya ke blog saya www.infonotesharian.blogspot.com