Bagi Elizabeth Gilbert, sebuah perjalanan panjang untuk mencapai apa yang disebut kebahagiaan. Saya mengetahui kisahnya lewat novel “Eat, Pray and Love”. Novel ini kiriman teman saya yang baik hati. Tak perlu saya sebutkan namanya. Hanya saja, teman saya yang keturunan Tionghoa dan beragama Katholik ini kini sedang mencari kebahagiaan itu. Dia masih maju mundur tentang lelaki yang diidam-idamkan untuk menjadi pasangannya. Mmmm...semoga berhasil ya.
Rupanya, kebahagiaan merupakan bagian penting dari kehidupan. Setiap mahkluk hidup, terutama manusia menginginkannya. Tentang kebahagiaan ini, kemarin saya juga sempat mendapatkan SMS dari seorang perempuan yang entah darimana dia mendapatkan nomer telepon saya. Katanya “Karena tak selamanya aku mendapatkan apa yang aku sukai, maka aku selalu menyukai apa yang kudapatkan”. Menarik, saya begitu merenungkan kata-kata ini.
Kembali ke Kisah Liz, panggilan akrab Elizabeth Gilbert. Dia, adalah seorang perempuan muda. Semua telah dimilikinya. Karir, keluarga yang baik, uang, teman-teman, begitu juga pernikahan. Lengkap sudah. Ia juga tinggal di kota besar New York, segala kebutuhan untuk kehidupannya benar-benar telah tercukupi. Tapi, entah mengapa dia belum menemukan kebahagiaan itu.
Akhirnya, dia mengambil keputusan yang tragis, bercerai. Kemudian, dia berkeliling negeri untuk mencari makluk yang bernama bahagia. “Eat” Ia dapatkan di Italy. Dia makan apa saja makanan enak yang disukainnya. Dulu, ketika tinggal di USA dia begitu ketakutan untuk makan terlalu banyak, takut gemuk. Seperti perempuan kebanyakan di sana, sungguh merasa berdosa ketika harus melakukan itu. Tapi begitulah, Liz tak peduli. Ia tak takut lagi. Yang ada dalam pikirannya, yang penting kesenangan dan kebahagiaannya terpenuhi.
Lalu “Pray” Ia dapatkan di India. Di sana Ia berlatih meditasi, berlatih Yoga. Ketenangan batin didapatkannya. Ia merasa pada saat itulah sebuah kebahagiaan begitu menyelimuti hatinya. Ia merasa benar-benar bisa dekat dengan Tuhan. Rupanya, itupun belum cukup. Setelah beberapa bulan tinggal di India, Ia memutuskan untuk pergi ke Bali. Dalam sebuah tayangan wawancara (talkshow) “Oprah”, terungkap kenapa Ia memilih Bali, katanya” Bali itu sebuah perpaduan yang harmonis, antara kedamaiaan, ketenangan batin dan keindahan”. Begitu kira-kira. Di pulau Bali itulah kemudian dia melangsungkan pernikahan. Di sanalah kemudian Ia menemukan “Love” sejatinya.
Membaca novel ini, terusik hati saya. Entahlah, ketika saya membaca novel, pasti ada saja pengalaman magis yang saya dapatkan. Terus terang, saya memang masih mendambakan kebahagiaan-kebahagiaan yang daftarnya masih saya simpan rapat-rapat dalam hati.
Tak dapat saya pungkiri, saya banyak belajar dari Liz. Seperti Ia juga pernah menganjurkan pada setiap bangun pagi untuk merenungkan “What you really-really-really wants?. Ya, sebuah penegasan tentang apa yang benar-benar ingin kita dapatkan. Perenungan ini semacam “mantra” yang selalu dipegang agar benar-benar menjadi pemicu untuk mendapatkannya.
Begitulah. Apa yang benar-benar kita cari dengan susah, dengan tertatih dan berpayah-payah, pada akhirnya benar-benar membekas dalam kehidupan. Tapi, pada akhirnya pula, semuanya kembali kepada fitrah manusia. Betapapun kita mencari kebahagiaan sampai ke ujung negeri, sampai ujung dunia pada akhirnya akan kembali ke hati masing-masing. Dan kebahagiaan letaknya dalam hati. Kali ini, saya benar-benar percaya SMS seorang perempuan itu “Karena tak selamanya aku mendapatkan apa yang aku sukai, maka aku selalu menyukai apa yang kudapatkan”.
Rumah Kelana : 10/03/10
*Penulis, tinggal di Jakarta
2 Responses to "Rahasia Kebahagiaan"
Daku udh baca mas.. menarik dan hmm.. cerita yang berbeda dari buku yang lainnya.
* Pembaca tinggal di pinggiran jakarta :D
( Pilar )
nanti akan kulanjutkan dengan cerita "Biola Guru Isa" tunggu aja he he. iya, penulis miskin yang ditinggalkan orang yang dicintainya he he
Posting Komentar