Nyaman Bergaya Soliter


Nyaman Bergaya Soliter

:yons achmad*


Originalitas ada dalam diri tiap individu

karena tiap orang berbeda dari orang lainnya.

Kita adalah bilangan prima,

yang hanya bisa terbagi oleh diri kita sendiri.


Benjamin Franklin (1706-1790), ilmuwan


Apa itu soliter? Sebelumnya yang saya tahu hanyalah sebuah permainan komputer. Bahkan saya sudah lupa bagaimana memainkannya. Entah mengapa tiba-tiba saya teringat kata itu. Lalu saya membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Soliter diartikan sebagai menyendiri atau sepasang-sepasang, tidak secara kelompok.


Disini saya lebih suka mengartikan soliter sebagai penyendiri, suka menyendiri. Rasa-rasanya memang benar saya mengidap “penyakit” ini. Disaat menyendiri, saya merasakan ketenangan batin, kedamaian hati, kesunyian pikiran. Saya betul-betul menikmatinya. Duduk di tepian kolam, membaca novel di kamar atau sekedar ngopi sendirian di sebuah kafe sederhana. Saya merasa nyaman.


Hanya saja, kadang saya begitu ingin bersosialisasi dengan lebih banyak orang lagi. Mengenal beragam kharakter manusia. Tapi begitu menjalaninya, ada rasa bosan yang begitu sangat. Saya tak membenci orang-orang sekitar. Bukan. Bukan soal itu. Hanya saja keinginan bersosialisasi itu datangnya kadang hanya sebentar saja. Lalu, kembali saya menarik diri, kembali bergaya soliter.


Orang di sekitar saya, terutama teman-teman dekat, kadang bingung juga. Bahkan, ketika saya memppunyai teman spesial (untuk tidak menyebut pacar) juga begitu. Kadang saya membiarkannya. Bukan karena tidak sayang, tapi saya benar-benar lagi ingin sendiri saja. Walau diam-diam, memantau, sekedar misalnya memastikan dia telah pulang ke rumahnya tanpa diantar laki-laki lain. Dan ketika dia baik-baik saja, itu sudahlah cukup.


Tapi, menurut pengalaman yang demikian memang kurang baik. Dalam berhubungan diperlukan komunikasi yang manis antar keduanya. Dalam wilayah ini, harus saya akui saya kerap gagal. Hanya berkomunikasi secara sepihak saja. Sebatas memastikan dia baik-baik saja. Dan ini salah, harusnya tetap ada komunikasi. Hasilnya, memang buruk. Hubungan pertemanan spesial itu kandas. Kadang tak disangka sangka kapan datangnya. Begitu tiba-tiba. Kalau sudah begini, kembali saya bersoliter lagi. Mulai membangun hubungan dari nol lagi.


Mengenai gaya soliter ini, paling parah memang saya alami ketika masih tercatat sebagai mahasiswa. Saya benar-benar akut. Berminggu-minggu kadang hanya di dalam kamar, membaca buku dan menulis, tak pernah kuliah. Selebihnya keluar untuk sekedar sholat dan makan. Atau kalau tidak sengaja pergi ke Jogja sendirian, sekedar memburu novel-novel bagus, menikmati malam berkeliling malioboro naik becak dan berakhir menghabiskan malam nongkrong di angkringan. Sendirian. Lagi-lagi sendirian. Saya merasa nyaman dengan gaya semacam ini.


Di dunia maya juga sama. Dulu belum ada yang namanya situs jejaring sosial semacam facebook atau twitter. Saya juga sempat bergabung dan bergaul dalam situs pertemanan ini. Tapi lagi-lagi saya kerap merasa bosan. Sehingga, saya kerap menonaktifkan situs atau acount saya itu. Baru pada saat-saat tertentu saja saya mengaktifkan kembali.


Di Jakarta, gaya solitar ini masih saya jalani. Hanya saja, kadang saya mesti berdamai dengan hidup. Status saya disini adalah perantau, mau tak mau saya harus bekerja, berkarya untuk bisa bertahan hidup. Inilah yang memaksa saya untuk bergaul dengan beberapa orang. Tentu untuk urusan bisnis. Demi, kata orang “Dapur tetap ngebul”


Saya memang keterlaluan betul. Saya mengakui tak adil pada hidup dengan bergaya soliter semacam ini. Rasanya, kini saatnya memang perlu mengikuti saran orang untuk lebih membuka diri, bersosialisasi, berpartner, berjaringan. Ya, ya ya. Baiklah kawan. Omong-omong rencana besar dan “subversif” apa yang mesti kita kerjakan sama-sama sekarang?


*Penulis, tinggal di Jakarta. Owner Komunikata.net


NB: Gambar dari google

3 Responses to "Nyaman Bergaya Soliter"

Anonim mengatakan...

Kadang sendiri itu memang sangat diperlukan untuk intropeksi agar menjadi lebih baik. Tapi, bukan berarti sendiri adalah satu-satunya yang harus dipilih. Bukankah manusia adalah makhluk sosial yang sangat membutuhkan orang lain? Kita tidak mampu melakukan apapun sendiri, semua pasti dengan bantuan orang lain. Sadar atau tidak sadar, itulah yang terjadi. Hm... coba terapkan tujuan hidup "Aku senang membahagiakan orang lain semampuku" Kalau kita berada pada kalimat itu, tentu kita akan bersosialisasi. Insya Allah, itulah yang aku terapkan dalam hidupmu. Coba dan rasakan... Divin

penakayu mengatakan...

:-)

vip mengatakan...

pola hidup anda nyaris mirip dengan saya. bedanya jalan hidup saya lebih bergelombang....

btw, komunikata.net kok nggak bisa diakses bro..?

thanks.