Setia pada Profesi

Setia pada Profesi
~yon’s revolta~

..kau tertembus peluru
kau boleh mati
tapi dunia akan
mengenangmu..



Saya tak mengenalnya,
tapi saya akan mengenangnya.

Kenji Nagai. Nama ini tiba-tiba menyentak saya. Di sebuah koran ibu kota, ulasan tentangmu begitu menyayat. Lebih-lebih, ketika melihat sebuah foto terpampang, bagaimana kau terkapar di jalan, tertembus peluru junta militer dengan kamera masih ditangan. Saya memang bukan seorang wartawan, tapi menyaksikan nasibmu yang begitu tragis disaat bertugas menjalankan sebuah profesi, sungguh, sebuah kesan haru sulit untuk terlupakan begitu saja.

Ya, Nagai (50) adalah seorang wartawan asal Jepang yang tewas tertembak peluru militer Myanmar pada huru-hara politik beberapa waktu lalu. Di kampung halamannya sana, Imabari, Jepang, tangis kesedihan juga tak terbendung. Ibunya yang dilansir media mengatakan “Saya tidak dapat tidur semalaman memikirkan banyak hal tentang anak saya”. Begitu kata perempuan renta berusia 75 tahun itu.

Lantas, apa maknanya bagi kita..?

Bagi yang kebetulan berprofesi sebagai wartawan, mungkin punya pengalaman senasib, pernah merasakan suka-duka menjadi seorang wartawan. Lebih-lebih wartawan yang sering meliput di daerah konflik. Tentu ada ketegangan, ada rasa was-was, setiap saat nyawa bisa mengintai. Bagi mereka yang terjun total sebagai wartawan, barangkali pengalaman itu sebuah keasyikan tersendiri, sebuah tantangan tersendiri. Entahlah. Yang saya tahu, itulah tanggungawab profesi yang kadang beresiko tinggi. Sebagai warga biasa, saya hanya bisa salut dengan orang-orang seperti ini.


Tentang kisah Nagai sendiri,
saya banyak belajar darinya.

Satu hal yang membekas adalah kesetiaannya pada profesi. Umur 50 tahun, masih begitu aktif turun kelapangan, meliput, mencari berita dan mengabarkannya kepada publik. Saya tak tahu alasan apa sebenarnya dia masih mau bekerja “lapangan” pada umur yang saya rasa cukup tua itu. Pengamatan sepintas saya, melihat wartawan-wartawan yang sering meliput di kota saya, tak ada yang berumur 50 tahun. Rata-rata mereka masih muda. Yah, kira-kira umur 23 sampai 40-an. Kalau umur 50 tahun, biasanya sudah tak lagi terjun ke lapangan, mereka bekerja di kantor saja. Atau, berangkali Nagai memang sangat mencintai pekerjaannya sebagai wartawan. Semoga saja begitu.

Satu hal yang saya petik. Benar. Mencintai pekerjaan, setia kepada profesi itu perlu. Umur manusia jaman sekarang pendek saja. Rata-rata, tak akan lebih dari seratus tahun. Dalam jangka waktu yang pendek itu, sejarah memang harus bisa tertoreh. Dalam arti, apa yang akan kita berikan untuk kehidupan ini. Setidaknya, paling lambat umur 25 tahun sudah jelas tentang apa yang mesti kita kerjakan. Profesi kita di umur itu apa, kemudian, apa yang mesti kita perbuat untuk 10 atau 20, 30 tahun mendatang. Inilah pertanyaan penting, tapi tak perlu dijawab. Cukup direnungkan saja.

Pada akhirnya, kita memang mesti sadar umur. Saya sendiri agak terlambat menyadari hal ini. Tapi, setidaknya masih ada sedikit asa. Saya akan setia menjalankan profesi sebagai penulis sampai akhir hayat nanti. Tentu, godaan pastilah ada. Tepatnya, tuntutan atas penghidupan yang layak. Klasik memang, saya sampai bosan menuliskan alasan ini. Tapi rupanya memang tak baik untuk dikesampingkan. Mungkin, saya nanti akan bekerja apapun (asalkan halal), tapi profesi saya tetap penulis. Sejarah saya adalah kata-kata. Hanya sedikit pikiran, perasaan dan advokasi kemanusiaan, harta yang akan saya sumbangkan untuk kehidupan ini. Selain itu, saya tak akan menjanjikan apa-apa…

Kota Senja, 4 Oktober 2007.

0 Response to "Setia pada Profesi"