Roemah Pelantjong: Jogja Slowly Asia




Roemah Pelantjong: Jogja Slowly Asia

“Alon-alon waton kelakon”

(pelan-pelan asal kesampaian)



Berangkat dari filosofi orang Jogja itu, Roemah Pelantjong hadir menyapa penggila traveling yang ingin menikmati suasana berbeda. Ketenangan, kesunyian, kedamaian. Ya, kalau ingin menikmati suasana begitu, Roemah Pelantjong Jogja adalah jawabannya.

Saya tak sengaja menemukan tempat itu. Lebaran tahun 2012, saya pulang ke Magelang dan berjanji ketemu dengan penulis perempuan Jogja. Saya memacu motor di Jalan Magelang KM 8, mata saya menatap papan nama besar bertuliskan “Roemah Pelantjong”. Wuihhhh apa ini? Untuk mengobati rasa penasaran saya masuk dan langsung disambut gadis-gadis berkaos merah bertuliskan “roemah pelantjong” dan alunan musik pelan, gending-gending gamelan Jawa. Sadis. Suasana langsung bikin “maknyess”. Hati langsung terasa dingin.

Sayapun mulai tergoda untuk berkeliling mengitari setiap sudutnya. Dibagian atas pintu kita sudah disambut dengan tulisan besar “Welcome to the city of slow”. Bagian depan ruangan sudah menyambut beragam produk seperti cokelat Jawa, wedang uwuh, teh Jawa, sirup, keripik dsb. Yang menarik, sebuah lukisan “Monalisa ngambek senyum” karya anak Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja yang bikin saya tertawa terpingkal-pingkal.

Ruang tengah. Beragam cinderamata dan produk-produk kerajinan digelar. Semua bercorak “Pelan” dengan simbol-simbol binatang “pelan” seperti siput atau penyu. Sepatu, tas, topi, mug, beragam kaos dengan tulisan-tulisan menarik bisa dinikmati dan dibeli misalnya kaos “Jogja Slowly Asia” “I Love Slow” “Slow Rock Café” “Stay Slow”. Saya tergoda dengan kaos bertuliskan “Republic of Slow” dengan gambar keraton Jogja. Harga produk-produknya cukup terjangkau, untuk mug sekitar 21-25 ribu, untuk kaos 65 ribuan.

Ruang belakang. Sebuah kafe tempo doeleo lengkap dengan kuliner khas Jogja bisa kita nikmati. Sebuah angkringan dengan beragam wedang (minuman) siap menyapa lidah para pengunjung. Saya memesan wedang uwuh dengan gula batu plus bolu emprit, ini kue yang mengingatkan dan membuat pikiran saya melayang kembali kemasa kecil. Bolu emprit itu makanan khas tempo doeloe selain “unthuk-unthuk cacing”. Makanan itu sekarang sepertinya tidak ada lagi, jarang ada di suguhan khas lebaran. Nah, saat saya memesannya, serasa beromantisme ke masa lalu. Membuat hati saya tersenyum kembali teringat kebahagiaan cerita masa kecil tempo doeloe.

Saat menikmati suguhan itu, Mbak Maria, salah satu crew Roemah Pelantjong menemani dan menjelaskan beragam hal tentang Roemah Pelantjong, filosofi, beserta produk-produknya. Roemah Pelantjong berangkat dari filosofi orang Jogja “Alon-Alon Waton Kelakon” alias pelan-pelan yang penting kesampaian. Filosofi ini tentu bukan mengajarkan kita untuk “lelet” tapi sebuah ajaran untuk melatih kesabaran, mengajarkan gaya hidup yang penuh perhitungan untuk mencapai sebuah tujuan. Dan, Roemah Pelantjong punya cita untuk mempopulerkan narasi besar “Jogja Slowly Asia” Kota yang memberikan inspirasi selaras dengan gaya hidup diatas. Tentu untuk sebuah kehidupan yang lebih baik setelahnya.

Dalam perkembangan bisnisnya, filosfofi itu mewujud dalam beragam produk seperti pada minuman “Slow Tea” kaos-kaos bertema “Slowly” atau angkringan, dengan mekanisme memasak air dengan arang (angklo) dengan minuman plus gula batu dengan irama pelan, tidak langsung larut kayak gula pasir. Tak ketinggalan, Mbak Maria juga tak keberatan memperagakan bagaimana menyeduh dan membuat “Slow Tea” dengan benar. Sebuah demo yang mengasyikkan. Begitulah sedikit gambaran tentang “Roemah Palantjong”. Tak sekedar rumah wisata, tapi juga keramahan crew yang ada didalamnya. Saya pribadi begitu terkesan dengan tempat ini.

Nah, bagi man teman yang misalnya sudah rada bosen dengan malioboro yang kalau lebaran dan hari libur selalu penuh sesak, ada baiknya sempatkan berkunjung ke Roemah Pelantjong ini. Oh ya, tempat ini juga oke buat misalnya kopi darat dengan teman-teman dekat, gathering penulis atau kegiatan seni lainnya. Oke, sementara ini dulu cerita saya. Sampai ketemu pada cerita-cerita selanjutnya. (Yons Achmad)

3 Responses to "Roemah Pelantjong: Jogja Slowly Asia"

Lumbah mengatakan...

wah.. sepertinya menarik untuk dikunjungi..

tensile strength mengatakan...

ane jadi kangen ke Jogja lg hihihi

catering murah mengatakan...

itu daerah mana gan yogyanya?