Oleh
Yons Achmad*
Yons Achmad*
Judul : The Paradise Journeys
Penulis : Muthia Esfand dkk
Penerbit : QultumMedia, Jakarta
Tebal : 314 Halaman
Cetakan : 1 November 2011
Harga : 43.000
Pada senja hening, Ibunya meninggal. Ia kehilangan single parentnya akibat kanker. Padahal ibunya adalah satu-satunya yang tersisa untuk cintanya. Ia benar-benar terpukul, merasa benar-benar kehilangan. Ia perlu sedikit udara segar. Ia ingin berkabung dengan caranya sendiri. Ia ingin tahu tentang rencana besar illahi apa lagi untuk dirinya. Satu-satunya yang terpikir olehnya waktu itu hanya satu. Ya, hanya satu, berpetualang, melakukan perjalanan (traveling).
Itulah sepenggal pengalaman, awal mula perjalanan untuk sebuah pencarian yang dilakukan gadis berjilbab, salah satu penulis dalam buku ini. Kemudian, Ia memutuskan perjalanan 29 hari keliling pulau Sumatera, berkisah tentang arsitektur masjid, bangunan-bangunan Islam, kuliner dan juga khazanah sastra & budaya di sana.
Itu saja tak cukup. Thailand disambanginya. Mulai dari Phuket Town yang tenang sampai Potong Beach yang hingar bingar. Dari ceritanya cukup menyenangkan, walau katanya harus tertawa geli melihat cewek-cewek cantik di sana yang ternyata beberapa diantaranya Lady Boy.
Selain itu, Ia juga sempat jalan-jalan di Kota Tua, Saigon, Vietnam. Trenyuh mendapati perempuan yang bekerja keras menjadi tukang tambal ban, menemukan menu Pho (mie kuah) yang ternyata kuahnya dari rebusan tulang dan daging babi yang membuat urung memakannya, sampai menemukan cintanya pada sebuah toko kecil penjual teh, minuman yang paling digemarinya dan membawa pulang blooming tea, teh yang bunganya mekar saat diseduh baunya wangi sekali. Puaslah sudah.
Penulis lain, berhasil mengintip eksotisme pulau terluar Indonesia. Catatan perjalanan ini ditulis oleh seorang jurnalis koran nasional. Layaknya seorang jurnalis, selain bisa mengamati secara detail apa yang dilihatnya, juga berhasil mewawancarai orang-orang sepanjang perjalanan dan penduduk pulau yang ditemuinya.
Alhasil, ceritanya hidup. Misalnya berhasil menceritakan secara detail tentang kapal perang “Sultan Nuku” yang ditumpanginya menuju pulau tersebut. Begitu juga detail aktivitas penduduknya, misalnya tak begitu tertarik menangkap ikan selain Hiu karena harga bahan bakar mahal berkali-kali lipat (kalau ikan biasa yang ditangkap harganya murah), selain itu, temuan mengenai ikan terbang yang menjadi ikon salah satu televisi swasta ternyata ada, bukan khayalan orang periklanan (kreatif) saja.
Selanjutnya, penulis lain bercerita. Tentang Malaysia, ada menara kembar Petronas yang menjadi simbol ingatan negara itu. Namun, ada sisi lain yang perlu disambangi, seperti Bukit Bintang, pusat penginapan dan jajanan murah, serta kafe-kafe yang cocok untuk tempat nongkrong anak muda. Untuk soal ibadah, masjid Putra Jaya dengan fasilitas lengkap dan kantin yang bersih cocok sekedar melepas lelah dan sholat.
Sementara, Singapura tak melulu menawarkan pusat belanja. Ada tempat yang jarang dilirik, yaitu pusat kajian Islam Darul Aqram yang koleksi buku-bukunya lengkap. Tempat itu berlokasi di Paya Lebar yang juga menyelenggarakan kelas khusus bagi para non muslim yang ingin belajar Islam atau ingin hijrah menjadi muallaf. Kalau lagi beruntung, di negeri singa ini, berlokasi di Esplanade sering diadakan pertunjukan budaya gratis lengkap dengan jajanan kulinernya. Jika ingin sejenak merasakan kesunyian, ada Handerson Wave, jembatan pejalan kaki setinggi 36 meter dan panjang 300 meter dengan pemandangan hijau yang menawan. Tak kalah menarik, penulis lain bercerita tentang Taiwan yang terkenal dengan kafe dan budaya antrinya yang juga dieksplorasi dalam buku ini.
Lantas, bagaimana dengan New York? Kota ini memang Amerika punya. Semua tempat hiburan ada dan bisa ditemukan di kota ini. Namun, bagi yang belum pernah ke sana, ada baiknya ikuti saran penulis dalam buku ini, khususnya ketika berhadapan dengan petugas imigrasi. Misalnya, jangan bicara kalau tidak ditanya atau jangan buru-buru kalau sedang berjalan karena akan menimbulkan kecurigaan. Di kota ini juga ada tokoh yang cukup terkenal yaitu Syamsi Ali, Ketua Komunitas Muslim Indonesia di Amerika, sosok yang bisa dijadikan referensi bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap saat berkunjung atau tinggal di Amerika. Kalau di Amerika ada New York, di Inggris ada Kota Tua bernama York, tak kalah menariknya, kota yang dikelilingi benteng mirip Tembok Cina dan dibelah dua sungai ini sangat cocok untuk dikunjungi agar bisa menikmati suasana Inggris tempo dulu.
Itulah beberapa cerita yang bisa saya dapat dalam buku ini. Dan tentu saja hanya secuil saja, masih banyak cerita-cerita lain yang bisa Anda nikmati sendiri, bisa Anda baca sendiri, sebab pengalaman membaca pasti berbeda. Yang pasti, buku ini tak sekedar buku panduan jalan-jalan yang murah, praktis dan menyenangkan semata. Tapi, ada banyak cerita dan pengalaman spiritual di dalamnya. Jadi, SELAMAT MEMBACA. []
*Publicist. Tinggal di Jakarta. Email senjakarta@gmail.com
Itulah sepenggal pengalaman, awal mula perjalanan untuk sebuah pencarian yang dilakukan gadis berjilbab, salah satu penulis dalam buku ini. Kemudian, Ia memutuskan perjalanan 29 hari keliling pulau Sumatera, berkisah tentang arsitektur masjid, bangunan-bangunan Islam, kuliner dan juga khazanah sastra & budaya di sana.
Itu saja tak cukup. Thailand disambanginya. Mulai dari Phuket Town yang tenang sampai Potong Beach yang hingar bingar. Dari ceritanya cukup menyenangkan, walau katanya harus tertawa geli melihat cewek-cewek cantik di sana yang ternyata beberapa diantaranya Lady Boy.
Selain itu, Ia juga sempat jalan-jalan di Kota Tua, Saigon, Vietnam. Trenyuh mendapati perempuan yang bekerja keras menjadi tukang tambal ban, menemukan menu Pho (mie kuah) yang ternyata kuahnya dari rebusan tulang dan daging babi yang membuat urung memakannya, sampai menemukan cintanya pada sebuah toko kecil penjual teh, minuman yang paling digemarinya dan membawa pulang blooming tea, teh yang bunganya mekar saat diseduh baunya wangi sekali. Puaslah sudah.
Penulis lain, berhasil mengintip eksotisme pulau terluar Indonesia. Catatan perjalanan ini ditulis oleh seorang jurnalis koran nasional. Layaknya seorang jurnalis, selain bisa mengamati secara detail apa yang dilihatnya, juga berhasil mewawancarai orang-orang sepanjang perjalanan dan penduduk pulau yang ditemuinya.
Alhasil, ceritanya hidup. Misalnya berhasil menceritakan secara detail tentang kapal perang “Sultan Nuku” yang ditumpanginya menuju pulau tersebut. Begitu juga detail aktivitas penduduknya, misalnya tak begitu tertarik menangkap ikan selain Hiu karena harga bahan bakar mahal berkali-kali lipat (kalau ikan biasa yang ditangkap harganya murah), selain itu, temuan mengenai ikan terbang yang menjadi ikon salah satu televisi swasta ternyata ada, bukan khayalan orang periklanan (kreatif) saja.
Selanjutnya, penulis lain bercerita. Tentang Malaysia, ada menara kembar Petronas yang menjadi simbol ingatan negara itu. Namun, ada sisi lain yang perlu disambangi, seperti Bukit Bintang, pusat penginapan dan jajanan murah, serta kafe-kafe yang cocok untuk tempat nongkrong anak muda. Untuk soal ibadah, masjid Putra Jaya dengan fasilitas lengkap dan kantin yang bersih cocok sekedar melepas lelah dan sholat.
Sementara, Singapura tak melulu menawarkan pusat belanja. Ada tempat yang jarang dilirik, yaitu pusat kajian Islam Darul Aqram yang koleksi buku-bukunya lengkap. Tempat itu berlokasi di Paya Lebar yang juga menyelenggarakan kelas khusus bagi para non muslim yang ingin belajar Islam atau ingin hijrah menjadi muallaf. Kalau lagi beruntung, di negeri singa ini, berlokasi di Esplanade sering diadakan pertunjukan budaya gratis lengkap dengan jajanan kulinernya. Jika ingin sejenak merasakan kesunyian, ada Handerson Wave, jembatan pejalan kaki setinggi 36 meter dan panjang 300 meter dengan pemandangan hijau yang menawan. Tak kalah menarik, penulis lain bercerita tentang Taiwan yang terkenal dengan kafe dan budaya antrinya yang juga dieksplorasi dalam buku ini.
Lantas, bagaimana dengan New York? Kota ini memang Amerika punya. Semua tempat hiburan ada dan bisa ditemukan di kota ini. Namun, bagi yang belum pernah ke sana, ada baiknya ikuti saran penulis dalam buku ini, khususnya ketika berhadapan dengan petugas imigrasi. Misalnya, jangan bicara kalau tidak ditanya atau jangan buru-buru kalau sedang berjalan karena akan menimbulkan kecurigaan. Di kota ini juga ada tokoh yang cukup terkenal yaitu Syamsi Ali, Ketua Komunitas Muslim Indonesia di Amerika, sosok yang bisa dijadikan referensi bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap saat berkunjung atau tinggal di Amerika. Kalau di Amerika ada New York, di Inggris ada Kota Tua bernama York, tak kalah menariknya, kota yang dikelilingi benteng mirip Tembok Cina dan dibelah dua sungai ini sangat cocok untuk dikunjungi agar bisa menikmati suasana Inggris tempo dulu.
Itulah beberapa cerita yang bisa saya dapat dalam buku ini. Dan tentu saja hanya secuil saja, masih banyak cerita-cerita lain yang bisa Anda nikmati sendiri, bisa Anda baca sendiri, sebab pengalaman membaca pasti berbeda. Yang pasti, buku ini tak sekedar buku panduan jalan-jalan yang murah, praktis dan menyenangkan semata. Tapi, ada banyak cerita dan pengalaman spiritual di dalamnya. Jadi, SELAMAT MEMBACA. []
*Publicist. Tinggal di Jakarta. Email senjakarta@gmail.com
1 Response to "Resensi Buku The Paradise Journeys: Petualangan Traveler Muslim"
gan kalo mau pesen online di tokobuku mana ya kok saya cari belum ketemu ya!
Posting Komentar