Book+Tea+Sunset = Life

Book+Tea+Sunset
=
Life

Oleh
Yons Achmad*

sebab setia adalah embun
yang tumpah dari mata air surga
sesiang nampak hilang
tapi menari pada esok pagi


Sebab dari buku...

Adakah yang lebih setia dari buku? Kau banting, Kau lempar, Kau injak-injak, Kau buat bantal tidur. Buku tak pernah mengeluh dan mengaduh. Tetap setia menemanimu.

Saya selalu percaya dunia itu masih ada kata setia.
Dan, hanya orang-orang setia saja yang bisa menghasilkan apa-apa.

Ngomong tentang buku, sejauh ini belum nampak membosankan. Saya masih suka bergaul dengan buku-buku. Yang paling saya sukai, tentu buku jenis novel, lalu buku biografi. Lewat novel, saya belajar tentang totalitas kehidupan. Apapun tak boleh setengah-setengah. Termasuk, dalam menjalani hidup dan meraih mimpi-mimpi.

Lewat biografi, saya belajar bagaimana orang-orang dulu meraih keberhasilan dalam hidup, menjadi cerita teladan. Selebihnya, saya suka buku filsafat dan sejarah. Dari buku filsafat saya belajar cara berpikir yang runut, sedang dari buku sejarah saya belajar tentang sesiapa dalam hidup yang perlu kita kenangkan, bukan kita lupakan. Bahkan ketika menyimpan peristiwa buruk sekalipun.

Ulil Absar Abdala pernah bilang lewat Twitternya: “Pendidikan menjadi tidak terlalu penting asalkan menyukai buku”. Kali ini, saya sependapat. Bangsa ini, saya yakin akan maju ketika mau membaca buku. Sekali lagi buku. Lewat membaca buku, kita akan berpikiran luas, pandangan yang lebar. Bisa berpikir mendalam, sehingga tidak tergesa-gesa dalam memecahkan persoalan hidup. Dan terhindar dari cara berpikir jangka pendek yang selalu menjerumuskan. Karena itulah saya selalu mencintai buku. Selalu.

Karena secangkir teh...

Upacara minum teh telah menjadi rutunitas keluarga kami, sejak saya kecil. Kami selalu minum teh dipagi hari. Setelah subuh, sebelum pukul tujuh. Kini, setelah ibu saya-Istaria- meninggal di umur 49 karena Kanker, kami tetap saja minum teh bersama. Saya disini, di kota Jakarta ini, Ibu saya disana, di surga. Secangkir teh, itu minuman kegemaran saya. Teh hijau tanpa gula, itu pilihan terbaik saya.


Ngomongin secangkir teh pasti tak ada habisnya. Tapi, saya ingat. Ini bukan benar-benar tentang secangkir teh. Tapi buku puisi. Ya, buku puisi berjudul “Secangkir Teh” karya Soni Farid Maulana. Buku ini saya comot dari lemari buku, rumah “teman” saya. Sebuah buku yang pasti akan saya kembalikan ketika nanti saya kembali berjumpa dengannya.

Buku itu berjasa bagi saya.

Suatu ketika, seorang redaktur majalah Islam mendadak mengontak saya. Tepat jam sepuluh pagi “Woi ada naskah esei sastra nggak, kirim ya sebelum jam 12” Alamaak, hanya ada waktu dua jam saja. Tapi, teringat ocehan para motivator untuk pantang berkata tidak, saya iyakan saja tantangan itu. “Siap... jam 12 cek u email” Itu kata saya yang entah saya bisa menyelesaikan tulisan esei itu atau tidak.

Gaya redaktur itu memang kurang ajar betul. Tapi sebagai penulis saya suka, karena dipercaya untuk mengisi rubrik pada majalahnya. Saya putar otak, mau menulis apa. Aha. Saya teringat buku puisi “Secangkir Teh” itu. Saya analisa dua puisi di dalamnya, lantas saya menulis esei dengan judul “Menafsir Sebuah Puisi. Agak terlambat, jam 12 lebih 5 menit baru terkirim. Tapi tak jadi soal. Dan, esei sederhana itu nongol di majalah beberapa hari setelahnya, yang bisa dibaca ribuan pembaca: pelanggan dan pembeli majalah itu. Saya gembira.

Lalu, apa hubungannya dengan senja?

Eh jangan bosan ya kalau saya kembali cerita tentang senja...

Ya, saya suka sekali menyesap secangkir teh, sambil membaca novel pada sebuah senja. Ini adalah waktu rehat saya setelah seharian bekerja. Momentum bagi saya untuk merenungi hidup yang melangkah pelan menuju- meminjam istilah teman-meniga dalam puluhan.

Tapi, mungkin ada yang bertanya maunya apa tulisan ini? Tidak-tidak, saya kadang menulis tak ada maunya. Seperti tulisan ini, sebatas rehat sejenak sebagai pemanasan saya menulis buku untuk seorang dokter yang harus terbit bulan ramadhan nanti.

Hanya saja, kalau boleh jujur: Buku, teh dan senja adalah bagian dari hidup saya. Bahkan, boleh dikatakan itulah hidup saya. Kenapa? Karena lewat itulah saya berusaha mengenal siapa saya dan pencipta. Ia, yang Maha Cinta. (*)


*Penulislepas. CEO Kanetwork.

2 Responses to "Book+Tea+Sunset = Life"

Isti mengatakan...

setuju mas..buku adalah jendela dunia. pendidikan tanpa buku ya sama saja..salam kenal :)

ari mengatakan...

buku merupakan sumber dari segalanya
saya setuju mas...
salam kenal :)