Pengarang Semacam Petani

Pengarang Semacam Petani

oleh

yons achmad*


Baca buku bagus-bagus

dan menulislah sampai mampus


(As Laksana)


Layaknya seorang petani, yang mencangkul di sawah, ia merasa berguna. Walaupun hasilnya kadang tak cukup buat makan. Dalam dunia kepengarangan semacam itu. Setidaknya, yang demikian pernah diceritakan oleh Putu Wijaya. Ia terhibur dalam mengarang karena punya fungsi. Merasa punya arti minimal di dalam kehidupan, tidak sekedar menjadi penumpang gelap. Gambaran ini saya dapatkan ketika membaca prolog dalam novelnya yang berjudul “Stasiun”.


Ya. Begitu kata pengarang setidaknya 40 naskah dan novel, 1000 cerita pendek, 18 skenario teater itu. Lantas, apa masih tertarik dengan dunia karang mengarang ini? Simpan dulu jawabannya dalam hati.


Kita bicara dulu tentang petani.


Semacam Petani


Bangun pagi-pagi. Sholat subuh. Kalau dia tak sekedar ber KTP Islam. Berdoa sebentar kepada Tuhan sang pemilik matematika rejeki. Lalu menyecap secangkir teh tawar tanpa gula. Ditambah mungkin hanya beberapa potong ubi jalar yang digoreng cukup dengan taburan garam. Dimakan bersama istri. Tentu kalau dia laki-laki.


Hap...


Lalu mulai menenteng sejata cangkulnya. Becengkerama pada pohon-pohon dan dedaun yang masih basah dicium embun pagi. Menyiangi nakalnya rumpu-rumput liar.


Kepada padi menghampar, sayur-sayur hijau, buah-buah ranum, berharap agar selalu subur dan kelak bisa terpetik untuk sekedar memenuhi kebutuhan keseharian. Dan sisanya mereka jual ke pasar. Untuk biaya sekolah anak-anak mereka yang semakin melambung saja. Itu kalau sedang beruntung.


Jika sedang ditimpa kesedihan, misalnya hama menyerang, tikus-tikus berkeliaran menyantap habis apa yang mereka tanam, fiuhhh...


Menghela nafas panjang. Duduk di bawah pohon besar, mengusap keringatnya dengan tangan, mengkipas-kipaskan topi capingnya untuk sekedar menyegarkan badan. Tanpa keluh, kembali membalik tanah, memupuk sawah, menabur bibit baru dan kembali berdoa agar beberapa bulan kemudian bisa berpesta panen setelah sebelumnya gagal. Disapu nasib yang belum berpihak kepada mereka.


Bagaimana dengan pengarang?


Semacam itu. Tak jauh beda.


Bangun pagi-pagi. Hanya kadang terlambat sholat subuh. Lupa berdoa dan langsung tancap menyecap secangkir teh dan melahap buku-buku. Kemudian, mulai menabur benih-benih keperawanan kata yang berkali-kali berusaha ia hamili. Dengan sekuat langkah kaki, kadang dengan berat hati. Satu jam berhasil memanen berpuluh-puluh halaman, kadang berbulan-bulan melamun saja sebab jari-jari mereka tak mau menari.


Kalau sedang beruntung, mereka bisa menjual naskahnya pada kantor-kantor berita, koran, majalah dan situs-situs ternama. Juga, kepada penerbit-penerbit buku untuk khalayak ramai. Atau kalau punya sedikit tabungan, mencetak bukunya sendiri, menjualnya kepada orang-orang melalui alam maya. Hasilnya, kadang cukup untuk memenuhi kehiduan keluarganya. Kadang hanya bisa untuk makan kucing peliharaannya.


Dunia kepangarangan adalah dunia yang membutuhkan kesetiaan. Dunia yang membutuhkan kesabaran. Dunia yang penuh dengan tantangan. Mengubah imajinasi menjadi karya yang berarti. Mengubah pengalaman dan tragedi sendiri menjadi senyuman yang siap kita bagikan kepada semua orang. Dunia yang mungkin hanya dimengerti oleh pengarang itu sendiri. Yang kadang membuatnya ditinggalkan kekasih-kekasih yang sangat dicintai.


Pada akhirnya, untuk bisa bertahan, pengarang perlu menguji keyakinan yang dipegangnya selama ini. NYALI. [*]


*Sedang menyiapkan novel perdananya “Senjakarta”


1 Response to "Pengarang Semacam Petani"

_njie mengatakan...

Nice.. salam kenal!:)
saya suka tulisan kakak di blog ini.. saya sering mampir di blog ini, utk menikmati tulisan kakak..
sukses buat karya2 nya! :)