Hujan Bulan Juni: Sebuah Tafsir

Hujan Bulan Juni: Sebuah Tafsir
oleh
yons achmad

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

(Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono)

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

Lelah. Kalaupun ada keluh kesah biarkan ia sedikit membasah. Sebab seperti angin yang mengabarkannya pada sebuah senja: bahkan kesedihan: bagaimanapun itu adalah bagian dari kehidupan. Yang mesti kita juga selami: Yang mesti juga kita akrabi. Ada kalanya, memang tak perlu membuka rahasia kesedihan kepada sesiapa. Sebab yang ada adalah kabar tak mesra. Kadang, artinya adalah 80 % orang tak peduli pada apa yang kita alami. Dan 20% orang senang dengan penderitaan kita. Yang demikian membuat kita tak perlu bergantung pada siapapun, kecuali pada pemberi setiap nafas yang kita hirup setiap hari.

Rahasia. Bukankah kita tak perlu mengumbar semua cerita? Memang lewat jari-jari kecil kita, lewat tombol-tombol dan layar di depan mata kita adalah godaan semesta yang menjadikan kita tak lagi istimewa. Semua cerita terhampar di sudut-sudut maya. Kantor-kantor, rumah-rumah kontrakan, kost-kostan anak sekolah. Semua cerita dari kita ada. Lantas, apa lagi yang tersisa?

Kalaupun memang tak kuat menahannya, biarkan segala cerita kita titipkan pada pohon berbunga itu. Sekedar meringankan setiap beban agar tak membuat berat kaki untuk melangkah. Menuju celah pada titik-titik temu yang sebentar lagi terang benderang. Diam-diamkan saja. Perlahan-lahan kita simpan sisa cerita, mimpi-mimpi kita: Yang kelak kita harap akan mekar setelah berkali-kali memar.

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

Jejak kaki kita. Kadang kita langkahkan begitu saja. Lalu terhempas lepas. Menyapu seluruh waktu pada hari-hari kita yang semakin menua. Langkah-langkah yang salah, langkah-langkah yang semu, langkah-langkah yang ragu.

Tak perlu malu untuk memulai hidup baru. Sejarah adalah masa lalu dan hari esok itu tak ada. Yang ada hanyalah hari-hari yang kita lukiskan sekarang. Inilah mozaik dan wajah kita yang nampak dalam cermin masa depan. Yang paling penting mungkin bukan menyesali jejak-jejak langkah kaki. Tapi justru terus melakukan kerja-kerja yang kita yakini. Sampai mati.

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Terlalu banyak yang dituliskan. Terlalu sedikit yang dikatakan. Ada kalanya: kita menyimpan saja semua germuruh di dada. Tak semua informasi perlu kita komentari. Tak semua perasaan perlu kita ucapkan. Pada akhirnya, hanya laku yang menjadi saksi bisu tentang bagaimana seharusnya kita mencintai: seperti Hujan Bulan Juni.

2 Responses to "Hujan Bulan Juni: Sebuah Tafsir"

Agri Satrio mengatakan...

mungkin kita tak perlu mengumbar semua cerita, namun tak salah juga kalau kita berbagi beberapa cerita untuk memberi makna kepada khalayak ramai

penakayu mengatakan...

Tak salah. Itu baik. Asal jangan mengumbar kata tanpa makna :-)