Tentang Ayah
Oleh
Yons Achmad
Kemarin saya telpon ayah saya.
“Lagi masak buat buka puasa” Katanya
“Wah mantab bos” Kata saya.
Seumur hidup saya belum pernah secara khusus bercerita tentang ayah. Bahkan rasa-rasanya berbicara empat mata pun belum pernah. Tapi, takdir menemukan jalannya. Akhirnya saya berkesempatan, tepatnya keadaan yang memaksa saya berbicara dengannya. Ya, ayah saya. Lelaki berumur 53 tahun bernama Ismail Hadi Sucipto itu.
Awalnya karena sakitnya ibu saya. Ada keluhan nyeri di rahim. Saya sengaja pulang kampung ke Magelang menjenguk ibu saya. Karena saya pikir mesti berobat ke dokter, mau tak mau masalah ini harus saya bicarakan dengan ayah saya. Atas alasan demi kebaikan ibu itulah saya berkesempatan ngobrol tatap muka berdua. Tepatnya, di rumah makan mungil. Saya bergaya sok mentraktir ayah gulai kambing kesukannya. Suasana agak kaku memang, awalnya kami cuman saling diam. Saya juga bingung harus ngomong mulai dari mana. Namun akhirnya suasanya agak cair.
Keputusannya, sesuai rekomendasi abang saya , ibu saya bawa ke Jakarta untuk berobat.
Kami pun terbang. Sejak itu komunikasi saya dengan ayah lumayan intens, walau lewat telepon.
Di sebuah rumah sakit, ibu divonis kanker usus. Saya dan abang syok. Saat saya melihat sendiri perut ibu dibedah, kasihan sekali. Ususnya memang sudah rusak dan harus dipotong. Sayang usus yang dipotong itu panjang sekali, jadi tidak sampai lagi ke dubur. Akhirnya, dokter menyarankan untuk membuat lubang diperut sebagai jalan buang air besar ibu saya.
Oh... Tuhan, saya tak bisa membayangkan ibu saya buang air besar lewat perut. Tapi, ternyata apa yang kami keluarga takutkan terjadi juga. Ya, ibu akhirnya sampai sekarang bertahan hidup dengan lubang dubur di perut. Dokter bilangg harapan hidup tinggal sekian, tapi saya dan keluarga sudah pasrah. Kita serahkan semua pada Alloh SWT.
Sejak itulah, ayah merasakan profesi baru sebagai ayah rumah tangga.
Sementara saya dan abang di Jakarta fokus cari uang buat berobat lanjutan ibu saya (untuk urusan keuangan abang saya yang lebih jago dan banyak berperan)
Sedih. Awalnya iya.
Hanya kemudian kita sadar semua hanya titipan, kami semua, kami sekeluarga mengevaluasi kualitas keimanan masing-masing dan kemudian sampai pada kesimpulan semua pasti ada hikmahnya.
Ketika ibu saya kemudian pindah ke rumah sakit di Magelang, Masyaalloh. Hampir semua perwakilan keluarga sekampung menengoknya, riuh ramai sekali jadinya di rumah sakit. Mereka datang bergantian. Inilah salah satu hikmahnya. Keluarga, saudara-saudara, tetangga yang jauhpun kemudian datang menjenguk. Dan disitulah tali silaturahmi kembali tersambung. Kami sekeluarga juga kini semakin akrab.
Khusus ayah saya, dia sekarang mulai belajar memasak, mencuci pakaian, menyeretika baju. Ditambah lagi menjaga ibu saya. Itu mungkin pengalaman baru baginya.Mungkin itulah yang dinamakan ujian cinta sejati. Dan saya yakin ayah saya bisa berbuat yang terbaik bagi ibu saya. Saya lelaki, ayah saya juga lelaki. Dari jauh saya hanya bisa berdoa agar semua baik-baik saja. Khusus kepada ayah saya hanya bisa bergumam dalam hati. Saya bangga. []
Halim Perdana Kusuma: 2 September 2010
2 Responses to "Tentang Ayah"
semoga... yang terbaik yang terjadi. hehehe...ga tahu mau ngomong apa.
salam kunjung mas.
semoga ibunda lekas sembuh.
Posting Komentar