Geng Friday Jazz

Anggota komplotan berdiskusi dengan DR Ibnu Hammad di UI

(Semacam politik citra kami agar disebut kaum intelektual)


Geng Friday Jazz

:yons achmad


We're just ordinary people
We don't know which way to go
Cuz we're ordinary people

(JOHN LEGEND)

Geng Friday Jazz

Kami menamakannya...


Nama gombal yang semena-mena kami ambil. Tanpa unsur ideologis. Ketemu begitu saja, tanpa rencana, langsung tancap. Untuk menamakan sebuah gerombolan kecil. Kelompok yang semuanya pingin terbang, sebab di dunia mereka selalu kepergok membuat “kekacauan”.


Anggota komplotannya 5 orang (3 pria, 2 cewek). Selebihnya, beberapa teman datang silih berganti. Yang pasti, anggota non inti pasti tak sudi lagi berkumpul setelahnya. Maklum, ospek penerimaan anggota baru kami terlampau ganas, tragis dan menyedihkan. Jika tak kuat, seumur hidup mereka akan menderita.


Kami adalah anak-anak kampus yang dulu suka menggoda penguasa dengan demonstrasi-demonstrasi kecil. Sok ingin terlihat jadi pahlawan menantang moncong senjata aparat walau sebenarnya hati kami kecut. Juga, sesekali melakukan tindakan bodoh dan konyol. Karena haus menyerang, langsung menenggak sebotol air mineral, padahal isinya adalah minyak tanah untuk membakar ban bekas agar demonstrasi lebih berwarna. Sukurin !!!. Itulah kami, kelima anggota sepersusuan dimana ibu kami adalah buku.


Lalu, sejarah berjalan memutar. Selepas kampus kami hidup agak normal. Bekerja, berkarya. Tentu dengan profesi kami masing-masing Penulis, peneliti, jurnalis, editor, fotografer. Kami bekerja dan berkarta terpisah-pisah lokasinya. Walau sebenarnya lebih tepat kelimanya membuat perusahaan semacam PT Media Subversif Provokindo. Sayang ide ini sebatas wacana yang ketika diperdebatkan selalu berakhir dengan keributan di warung angkringan Mas Joko.


Begitulah, sebenarnya tongkrongan utama: jujur aja adalah angkringan Mas Joko. Nongkrong di Friday Jazz pelataran sebuah Mall di Depok sebenarnya semacam cara untuk mengakrapi budaya pop tanah air (untuk tak mengatakan sekedar bergaya saja).


Ya, ya ya. Selepas senja, sepulang kerja kami bertemu. Diantara kami sebenarnya masing-masing menyimpan rahasia konyol tentang Jazz. Saya yakin mereka berempat tak benar-benar memahami Jazz. Kecuali saya (siap-siap ditimpuk sekarung buku). Tapi, barangkali memang tak penting memahami jazz. Yang paling penting justru menikmatinya. Pada gelaran jazz itu atau menikmati suasana yang kami bangun sendiri.


Lantas, apa yang kami bicarakan?


Kami membicarakan musik, sastra (terutama novel-novel menarik), begitu juga tentang asmara. Ya, semua dari kami juga menyimpan rahasia. Semua diantara kami menyimpan masa lalu, yang tak selamanya merdu. Tapi, kami simpan rahasia itu. Kami menghormati satu sama lain.


Memang, tak selamanya kami waras dalam mengarungi hidup ini. Makanya, yang kami pinta dari Tuhan semoga saja, minimal 2 orang anggota boleh agak sinting, asalkan ke-3 anggota lainnya tetap waras agar kami tak kewalahan menghadai ceracau mereka.


Kami adalah “Jamaah”, kami adalah “Barisan”. Yang pasti, kami masih punya nurani. Dan, akan terus melawan siapa saja yang anti kemanusiaan. Begitulah kami, komplotan pembual nomer wahid di negeri ini. Sebuah negeri yang kata orang; kehidupan politiknya kacau dan semakin memburuk tapi kehidupan sastranya semakin indah dan menggembirakan. Dan, Anda semua semua pasti bisa menebak jalan mana yang kami pilih. []


Rumah Ilalang; 20 Juni 2010

3 Responses to "Geng Friday Jazz"

mNx mengatakan...

ahahahaha...mantab! :))

Anonim mengatakan...

Ngeper ngeliat aktivis-aktivis ini *lirik tumpukan fotokopian*

Mantab sekali itu nama gengnya haha... berarti gak pindah tempat ya?

'Ne mengatakan...

salam..
meski Indonesia sedang carut marut tapi sastranya emang tetap tumbuh berkembang.. saya juga penikmat sastra..