Kepada Perawa(n)t Manis Itu
:yons achmad*
Di luar hujan deras membasah
Di ruangan ini aku menggigil begitu dingin
Perawa(n)t manis itu...
Maaf ya selalu meropotkanmu. “Nggak apa-apa Mas, ini kewajiban saya” Katamu. Cukup standar. Lalu, sesekali kulirik nakal. Ia mengusap keningnya : yang mungkin keringat kecapekan bermunculan ditengah kesibukan kerjanya. Lalu, Ia bereskan makanan-makanan di samping saya : yang tentunya tak pernah tersentuh. Terakhir, membereskan selimut saya. Dan selalu berkata “Cepet sembuh ya” dibarengi senyum.
Perawa(n)t manis itu...
Sebut saja Za. Namanya bercorak bahasa Arab. Dan, Ia juga berkerudung cukup rapi. Tiga tahun berkarir sebagai perawat di rumah sakit itu. “Sering bosen nggak, kan capek ngerawat pasien terus tiap hari” Kataku kembali menggoda. “Kadang sering sih”. “Yah berarti bosen dong ngerawat saya” Kata saya kurang ajar. “Nggak-nggak, ini sudah kewajiban saya”. Yah, kata-kata itu lagi yang muncul.
Lalu. Aha. Ia mati gaya...
Membereskan sesuatu yang sebenarnya sudah beres. Saya tertawa dalam hati melihat seseorang yang mati gaya begitu.
Pada hari kesekian, badan saya kumat. Perut mual sekali, kepala sakit sebelah, badan panas sekujur tubuh tapi rasanya dingin : menggigil sekali. Ia, muncul dengan tergopoh-gopoh memeriksa saya “ Jangan pura-pura ah, semua baik-baik saja kok”. Oalah kurang ajar, saya sakit beneran dianggap pura-pura. Tapi saya baru sadar, saya kena batunya karena pernah ngerjain dia sebelumnya. Alamaak. Kali ini Ia cuek saja membiarkan saya menggigil.
Mmmmm..kemudian saya berjanji
tak akan banyak becanda pada kondisi sakit begitu
Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, saya coba terapi diri sendiri. Saya sugesti diri sendiri. Saya harus sembuh, saya harus sembuh. Berulangkali kata-kata itu saya gumamkan dalam hati. Sakit masih terus menyerang. Saya tahan-tahan. Pada saat begitu saya benar-benar merasakan betapa enaknya orang sehat. Saya atur nafas agar lebih tenang. Lumayan, pada akhirnya bisa terlelap. Tertidur untuk waktu yang lumayan lama.
Pada pagi yang hening...
Ia membuka tirai kamar dalam ruangan serba putih itu. Mentari menyapa pelan. Mengenai kulit tangan saya. Terasa hangat. Pelan-pelan pula badan terasa berkeringat. Tanda-tanda mulai akan sehat kembali. Itu yang biasanya terjadi. Saya isi pagi dengan membaca novel. Satu-satunya hiburan yang bisa saya nikmati. Satu setengah hari kemudian, saya sudah diperkenankan pulang.
Pada sekian hari berikutnya...
Di sebuah kafe. Tepatnya sebuah gerai makanan yang tak terlalu ramai, saya dan Za : perawa(n)t manis itu bertemu. Ia sudah bisa memanggil saya dengan sebutan “kamu”. Dan Ia bercerita banyak tentang dirinya, keluarganya, adek-adeknya. Sial. Membuat saya begitu terharu. Lalu dengan tampang sok pahlawan saya ambil sebuah tisu di meja: mengulurkan kepadanya untuk mengusap air matanya yang mulai membasah.
Sementara suasanya diluar tampak mendung, rupanya hujan sebentar lagi akan datang.
Sebab masa lalu bukan untuk dilupakan
tapi dikenangkan
~mengenang Za~
Rumah Kelana : Sabtu 22 Mei 2010
*Penulis lepas, tinggal di Jakarta
1 Response to "Kepada Perawa(n)t Manis Itu"
orisinil...menyentuh dan inspiratif, maaf numpang lewat di 'rumah' rasa yang inspiratif ini. Semoga bisa berbagi. Salam
Posting Komentar