Warna Cinta Ternyata
:yons achmad*
"Kau tahu itu cinta ketika semua
yang Anda inginkan
adalah menjadikan orang tersebut bahagia,
bahkan jika Anda bukan bagian dari kebahagiaan itu."
Julia Roberts, Artis
Warna cinta itu apa ya? Tanya seorang teman dalam status facebooknya.
Sebelum saya melanjutkan kolom ini, bolehlah engkau jawab sekarang. Sesukamu. Yang penting engkau bahagia.
Warna. Ya warna. Kadang secara tak sengaja kita masih saja salah mengenalinya.
Begitu juga saya. Lagi-lagi salah. Pagi tadi, saya benar-benar baru menyadarinya.
Seperti biasanya, saya mulai mengawali kerja sekitar pukul 08.00. Tak langsung bekerja memang. Sesampai kantor, saya menyeduh minuman, biasanya secangkir teh hangat, tak terlalu manis. Lalu, saya membuka koran online. Membaca opini, setidaknya empat media : Kompas, Jawa Pos, Suara Merdeka dan Republika sambil menikmati secangkir teh itu. Untuk berita, saya percaya Detik, Eramuslim dan Vivanews.
Begitu kebiasaan sehari-hari. Baru kemudian, cek E-mail, kirim surat bisnis ke beberapa klien (ini harus alias wajib). Lalu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan klien sampai siang.. Sore sampai malam biasanya janjian dan kongkow-kongkow bareng klien. Ealah kok malah cerita diri sendiri. Maaf.
Begini. Pas tadi pagi baca koran online Kompas, saya membaca kolom menarik tentang warna. Judulnya “Air Putih dan Gula Merah”, ditulis oleh Sori Siregar, seorang cerpenis. Ia menyoal kelatahan masyarakat kita. Ia ingin membangkitkan kesadaran kita tentang warna. Walau, sebenarnya Ia ingin membongkar kesadaran masyarakat tak sekedar warna tapi “warna”
Masyarakat sering menyebut air putih, untuk sebutan air yang kerap kita minum sehari-hari. Padahal kenyataannya tak demikian. Air itu bening bukan putih seperti kapas. Tapi toh kita tetap menyebutnya air putih. Begitu juga mengatakan gula merah untuk menyebut gula jawa, padahal warna sebenarnya bukan merah tapi kecoklat-coklatan. Begitu Ia mengupas dalam kolom itu.
Memang sih terserah kita mau menyebut air yang sering kita minum dengan sebutan air putih. Toh kita tak akan dipenjara dengan menyebut demikian. Tapi, kalau dipikir lebih dalam, apa iya kita mau salah kaprah dengan sebutan itu? Atau jangan-jangan hidup kita memang sering dipenuhi salah kaprah yang demikian. Ahaaaa. Semoga saja tidak.
Lalu, ke soal warna cinta. Saya benar-benar tak bisa menjawab apa itu warna cinta. Apa, biru? Ah itu kan menurutmu. Mungkin orang lain menyebut warna cinta itu senja.
Saya malah berpikir begini. Ketika teman saya menulis status tersebut. Yang menanyakan warna cinta. Ia, saya rasa memang tak benar-benar ingin menanyakannya. Dan Ia tak butuh jawaban atasnya. Itu hanya luapan tak tertahankan. Mungkin saja Ia sedang benar-benar kasmaran.
Bagi saya sendiri, cinta itu bukan soal warna, tapi soal rasa. Ya, soal rasa. Yang namanya rasa itu soal selera. Dan yang namanya selara itu sampaikapanpun tak bisa diperdebatkan. Tapi, rasa sebenarnya punya wajah. Kita bisa memandangnya
Seorang yang menemukan kucing pincang kakinya, lalu memungutnya untuk dirawat dirumahnya. Sampai Ia besar, bahkan sampai tua dan mati, itu soal rasa. Itulah contoh wajah cinta yang sebenarnya. Kalau tak ada rasa. Pastilah tak ada cinta. Itulah rumusnya.[]
Rumah Kelana : 9 April 2010 : 19.51
*Kolumnis, tinggal di Jakarta
3 Responses to "Warna Cinta Ternyata"
Makasih Mas Yon... Kok ya tepat pas lagi gundah... artikel yg mas Yon tulis masuk di emailku :">
Ternyata warna cinta adalah rasa?
Krn aku merasa senang, merasa sakit, merasa kangen, merasa segalanya... berarti aku memang cinta.... Tanpa semua rasa itu berarti aku tak cinta.
Wah .... ternyata....
Makasi atas artikelnya ya...
Makasih Mas Yon... Kok ya tepat pas lagi gundah... artikel yg mas Yon tulis masuk di emailku :">
Ternyata warna cinta adalah rasa?
Krn aku merasa senang, merasa sakit, merasa kangen, merasa segalanya... berarti aku memang cinta.... Tanpa semua rasa itu berarti aku tak cinta.
Wah .... ternyata....
Makasi atas artikelnya ya...
Rasa adalah jalan mengenali cinta, cinta berdiri sendiri.
Posting Komentar