Berjuanglah, Nak !

Berjuanglah, Nak !
: yon’s revolta


dia yang memandang rendah kegetiran
tak akan pernah melihat kebahagiaan

~kahlil gibran~
(Penyair Lebanon)

Lelaki kecil itu....

Sering terlihat mondar-mandir di sekililing kampus (tempat dulu saya pernah kuliah). Memungut apa saja yang bisa dijual. Kertas koran, bekas botol air mineral, atau plastik bungkus makanan. Di punggungya, sebuah karung membebani dirinya yang masih mungil, maklum masih duduk di bangku sekolah dasar. Lumayan, uang hasil penjualan barang-barang bekas itu untuk tambah uang jajan. Begitu penuturan yang pernah saya dengar.

Orang tuanya. Saya tak tahu. Hanya, seperti kondisi masyarakat bawah pada umumnya, hidup serba kekurangan itu adalah irama kehidupan kesehariannya. Melihat anaknya mencari uang dengan cara seperti itu, dibiarkan saja. Toh, halal-halal saja. Bisa jadi begitu pandangannya. Pandangan umum orang-orang yang masih harus berjuang, hanya demi bisa menyambung hidup. Untuk bisa hidup diambang kecukupan, masih terlalu sulit untuk dirasakan. Melihat lelaki kecil itu (dulu), saya hanya bisa bergumam ”Berjuanglah, Nak !.

Saya selalu yakin karena sejarah kehidupan telah membuktikan, terlalu banyak orang yang sedari kecil hidup penuh dengan perjuangan, ketika dewasa, dimasa tuanya selalu terkenang, terharu dengan sebuah keberhasilan yang akhirnya bisa didapatkan. Tentu ketika orang benar dalam memahami setiap proses yang dijalaninya. Pahit getir kehidupan terbiasa dihadapinya. Hingga, terpacu untuk segera keluar dari garis nasib yang menjerat. Keluar dari kubang kesedihan dan kegetiran. Melangkahkan kaki pada sebuah impian. Itulah secercah jalan kebahagiaan.

Dilain kasus, nyinyir...


Ketika melihat wajah sedih negeri ini. Orang-orang marjinal, mereka yang belum beruntung nasibnya. Lihatlah..!. Baik dilayar kaca telvisi atau pemberitaan di berbagai media massa. Terlalu sering kita mendengar, seorang ibu membunuh anak kandungnya sendiri karena berpikir tak punya uang untuk membiayainya kelak, seorang anak bunuh diri karena sering diejek teman-temannya sebab orang tuanya terlampau miskin, seorang gembel belaka. Atau, seorang yang nekat gantung diri karena tak kuat menahan beban kesulitan, beban masalah yang dihadapinya.

Siapa yang salah..?. Jelas, pemimpin negeri ini. Hanya saja kita pun mesti bisa bertahan dengan kenyataan. Terlalu berharap pertolongan kepada “para petinggi” negeri hanya semakin membuat kita kecewa saja. Jalan alternatif mesti kita bangun. Saling menolong, saling melengkapi, saling berbagi, itulah solusi. Kita rubah kegetiran hidup ini dengan karnaval senyuman yang bisa sedikit mengurangi beban hidup.

Kalau kita cermati sejarah orang-orang besar, begitu juga negeri-negeri besar, ia selalu diawali dengan kepahitan dan kegetiran hidup. Lantas, merekalah orang yang bejaya kelak ketika bisa mengatasi persoalan-persoalan dengan baik, tepat, bijak dan brilian. Tak selalu mulus, kadang perlahan, namun tetap berjalan.

Diam-diam saya juga begitu. Belajar memaknai kegetiran demi sebuah kebahagiaan. Saat ini saya juga sedang memulai era baru perantauaan. Ya, di Jakarta yang kata orang begitu kejam. Tapi bagi saya tidak, setidaknya mencoba mematahkan mitos yang terlanjur muncul itu. Semua tempat menyenangkan asalkan bisa beradaptasi, bukan hanya dengan lingkungan, yang paling penting justru adaptasi hati. Beban, cobaan selalu ada, bahkan besar. Kalau sudah begini, saya mengobati diri dan ingat pada sebuah kata yang pernah saya gumamkan dulu. Kali ini bukan untuk seorang lelaki kecil itu, tapi untuk diri saya sendiri. “Berjuanglah, Nak !.

Jakarta, 1 Desember 2007

1 Response to "Berjuanglah, Nak !"

Merry Magdalena mengatakan...

Mas Yon, makasih komennya di Netsains. Oiya saya ralat dikit, Mas Budi Putra itu masih karyawan di Tempo lho. Jadi tak bisa disebut sebagai full time blogger..hehehe