Pemalas dan Novel

Pemalas dan Novel
Oleh
Yon’s Revolta


~satu cara lelaki mengagumi seseorang
adalah mengabadikannya dalam karya sastra~

Entahlah, siapa yang pertamakali mendeklarasikan “kredo” diatas. Tapi, saya sepakat sekali. Barangkali ada yang mengatakan “ah itu hanya pelipur lara orang-orang kalah saja”. Bagi saya tak masalah. Justru inilah kelebihan yang dimiliki seorang penulis. Kita bisa melakukan apa saja dalam dunia kata-kata. Joni Ariadinata, sastrawan terkenal itu (kalau tidak salah) dalam kasus yang berbeda juga pernah melakukannya

Suatu ketika, dia diperas oleh seorang preman, dan hanya bisa diam, tak mampu melawannya. Pada kesempatan lain dia membuat sebuah cerpen, isinya dia menciptakan tokoh yang sebenarnya tokoh itu adalah dirinya sendiri. Dalam cerpen tersebut, sang tokoh menghajar preman yang mencoba memerasnya sampai babak belur. Begitulah, cara seorang penulis menceritakan pengalamannya.

Saya akan melakukan hal yang sama.
Tentu dengan cara yang berbeda.

Saya memang seorang pemalas. Bukan orang yang rajin. Bahkan ide membuat cerita, tepatnya sebuah novel pun sudah sekian lama terngiang. Hanya terngiang saja. Saya belum mampu menghancurkan "iblis" kemalasan yang begitu menghinggapi saya. Saya mulai menulis, mentok, menulis lagi, file hancur kena virus, menulis lagi, sengaja men-delete karena merasa tulisan jelek sekali. Begitulah prosesnya, tersendat-sendat. Ternyata menjadi penulis “beneran” itu memang butuh kerja keras. Berbuasa-busa saja tak cukup.

Belum lagi, tersita untuk mempertahankan “dapur tetap mengepul”. Terpaksa, saya tak boleh hanya memikirkan novel saja. Saya menulis yang lain seperti puisi, kolom-kolom kecil berisikan hikmah kehidupan dan beberapa artikel tentang “kajian media’ di beberapa koral lokal. Yah, sekedar untuk sesuap nasi dan mencegah demonstrasi berkepanjangan cacing-cacing yang mungkin bersemayam di perut saya. Belum lagi, waktu tersita untuk membaca buku. Agar otak tak kosong, agar wawasan selalu bertambah. Hidup boleh sederhana, tapi pengetahuan harus luas. Begitulah.

Menjadi penulis itu pilihan konyol…

Benar, kalau alasannya karena uang. Saya tak akan marah ketika ada orang yang mengejek, mencemooh profesi sebagai penulis. Bahkan, kalaupun saya sebagai (calon) penulis dihina sedemikian rupa, saya akan mencoba tetap tersenyum saja. Tak mengapa. Memang, menjadi penulis adalah pilihan yang sulit. Jujur, untuk bertahan hidup dengan mengandalkan hanya sebagai penulis saja tak cukup kiranya. Tapi, meninggalkan aktivitas tulis menulis, bagi saya belum bisa. Menulis, hiperbolisnya, bagi saya sudah seperti orang bernafas. Maka saya akan mencoba tetap menulis apapun bentuk tulisannya.

Dan novel, saat ini adalah media untuk mengabadikan “Seseorang Itu”.

Dia, tentu orang yang special. Orang yang berarti dalam hidup saya. Diam-diam saya mengaguminya tanpa sepengetahuannya. Dan, diam-diam pula, akan saya abadikan sosoknya dalam karya sastra. Terlalu sentimentil kedengarannya. Mungkin. Tapi, bukankah sentimentil juga pernah dialami seseorang yang membuat kehidupan kadang begitu indah. Inilah pekerjaan saya dalam waktu dekat ini, membuat novel tentang kisah tentang seseorang yang telah kubiarkan menjadi bagian terkenangkan dalam sejarah hidup saya. Tentunya, sang pemalas ini akan mencoba untuk lebih tertib menata hidup, terutama dalam soal menulis novel tersebut. Doakan, semoga saya lekas merampungkannya.

Kota Senja : 2 Oktober 2007
(masih saja bermimpi)

0 Response to "Pemalas dan Novel"