Ujian Soal Perasaan
Oleh
Yon’s Revolta
Lalu, kami bertemu di perpustakaan.
Dalam sebuah siang yang rame. Dia datang, diam, langsung terisak. Menangis. Lembar-lembar tisu dihabiskannya untuk mengusap peluh tangis dipipinya. Belum ada tanda dia akan meluahkan kata-kata untuk bercerita mengenai keadaannya. Dan, sayapun hanya membatu, ikut terdiam.
“Aku tak mencintai suamiku”
Deg, serasa tersambar hati ini. Seperti tertusuk rasa. Tapi saya mencoba untuk tenang, mencoba menggali lebih dalam apa maksudnya dia sampai berkata begitu. Lantas, setelah saya tanyakan kepadanya, dia mulai membuka diri. Dikatakannya, sudah tak tahu harus berbuat apa. Tidak ada tempat bercerita. Kemudian, dia meminta saya untuk memberikan solusi atas permasalahan rumah tangganya.
Sulit, jelas saja. Saya masih awam, belum tahu seluk beluk problem nyata rumah tangga. Tepatnya, belum berpengalaman. Kalaupun sedikit tahu, hanya lewat artikel-artikel dan buku tentang kerumahtanggaan. Jadi, berat rasanya untuk memberikan padangan terbaik baginya.
Sebenarnya, persoalannya tak rumit. Hanya problem rumah tangga biasa. Ketidakcocokkan, terus bertengkar dengan suaminya. Dia kecewa, tak tahan, lantas kabur dari rumah. Jujur, saya memang salah ketika mengiyakan pertemuan dengannya. Entah, yang terpikirkan saat itu, dia pingin ketemu, katanya ada urusan penting yang perlu dibicarakan. Ya sudah, ketemu diperpustakaan saja. Lagian tempatnya rame. Baru saya sadar setelah ketemu, tak menyangka kalau problemnya seputar rumah tangannya.
Dia memang teman sejak awal kuliah. Semenjak semester satu. Jadi, untuk soal ngobrol, memang lumayan terbuka. Anaknya memang sedikit labil. Kalau ada kemauaan harus tercapai. Kalau sedikit kecewa, langsung terluahkan begitu saja. Langsung keluar. Ekpresi begitu nampak terlihatkan. Sedikit banyak, saya tahu kharakternya. Biasanya, ketika sedang mengalami hal semacam itu, guncangan hebat dalam dirinya, akan geleng-geleng kepala bagi siapapun yang melihatnya. Makanya, ketika dia cerita soal rumahtangganya, saya dengarkan saja. Pengalaman dulu begitu. Ketika dia cerita panjang-lebar saya biarkan saja. Dia akan baik-baik saja kalau sudah capek bercerita, semuanya sudah keluar. Setelah itu, biasanya kondisi psikologisnya akan kembali seperti semula.
Dia sebenarnya tak butuh solusi. Hanya butuh didengarkan saja. Benar saja. Ketika sudah tak ada lagi yang diceritakannya, dia mulai sedikit tenang. Bahkan sesekali tersenyum, menghela nafas panjang. Lega rasanya. Akhirnya, toh kembali baik-baik saja. Ketika sudah tenang, saya katakan kepadanya “udah
***
Kalau boleh jujur, sebenarnya saya sangat menghindari soal-soal begini. Saya namakan kasus ini ujian soal perasaan. Untung dia benar-benar hanya sebagai sahabat, sebagai teman saja. Dari awal saya punya komitmen begitu. Bagaimana kalau sampai berubah, sampai perasaaan itu berubah. Dari seorang teman biasa, kemudian muncul simpati dan datang cinta. Oh…bisa gawat. Semoga saja, di hari-hari selanjutnya, tak akan banyak saya temui pengalaman seperti ini lagi. Bukan berarti tak mau peduli atas masalah orang. Hanya, “takut” saja kalau tiba-tiba, ujian perasaan berbuah cinta.
Rumah Kelana, 27 Juli 2007
8 Responses to "Ujian Soal Perasaan"
salam mas yon.
saya mau link blognya nih, boleh ya...
monggo, silakeun dengan senang hati
Halo KK,
Seingatku baru kali ini KK tulis yang agak bersinggungan dengan perasaan (yg agak lebih personal).
Keep Writing ya!
Moga2 cepet selesai masalahnya.
begitulah.
ok, kedepan mau nulis yang lebih bernuansa sosial :-)
Berat memang resiko berteman dekat dengan wanita (apalagi sudah bersuami). Karena teman dan kekasih itu bedanya sangat tipis.
Hati soal hati...
Hati? yang selalu terbolak balik...
Tolong bagi pengalamannya dong mas dengan saya yg beberapa kali jadi tempat curhatan, kok setelah itu (ngedengerin curhat) malah jadi bingung. Saya kok agak terpengaruh gitu ya?
hehehe...
ada angle yang mirip yang sedang aku alami. kalo yang punya masalah perempuan, gak mungkin kan akhirnya dia mutusin punya suami dua? nah, kalo yang punya masalah itu laki2, trus tiba2 dijadiin istri kedua gimana???
pusing!%@$#(*&?+
ouh...penulis?
ma kasih, saya tersanjung dikunjungi Anda :)
Salam kenal
fikri@ kadang kita sebagai lelaki memang terlarut dan luluh. dari sini muncul simpati, bahkan datang cinta. nah disaat inilah otak rasional kita kudu bekerja. bahwa "dia" sekedar teman saja, tak lebih :-)
meniex@ poligami, kenapa nggak :-)
yati@ salam kenal jugah :-)
Posting Komentar