Akhwat Kampung

Akhwat Kampung
Oleh
Yon’s Revolta

Dia tetangga saya di Kampung, tepatnya daerah Sawangan, seputar lereng Gunung Merapi Magelang. Sekitar 10 kilometer dari pusat kota. Dia seorang akhwat (sebutan lain untuk seorang wanita muslimah). Ya, dia seorang akhwat kampung. Sebut saja namanya Mbak Rofi. Karena berdomisili di kampung, tentu saja kehidupan dan aktivitas kesehariannya jauh berbeda dengan akhwat-akhwat kota (kampus). Tak ada yang namanya seminar-seminar, apalagi menenteng tas ransel berlarian ikutan demonstrasi. Hidup di kampung, mau tak mau akrab dengan lumpur.

Apalagi dia bersuamikan seorang petani, tentu saja harus bahu membahu membantu pekerjaan suaminya untuk bisa mempertahankan hidup keluarganya, agar dapur tetap mengepul. Untuk menambah penghasilan hariannya, suaminya bekerja juga menjadi pemecah batu di sungai Pabelan. Lumayan, hasilnya untuk menambah biaya sekolah anaknya yang bersekolah di SD Islam Terpadu (IT) dimana biayanya agak mahal dibandingkan sekolah biasa.

Nah, suatu ketika, disaat pulang kampung ke Magelang, saya melihat Mbak Rofi sedang menggendong pupuk kandang untuk disemaikan di sawahnya. Terlihat telaten memasukan pupuk kesela-sela tanaman. Setelahnya merapikan dan memotong daun-daun yang sudah mengering, membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh, tentu saja agar tak berebut makanan dengan tanaman utama yang kelak akan dipetik hasilnya ketika panen tiba. Sementara sesekali saya melihatnya membenahi caping bambunya, melindungi dirinya dari sengatan matahari yang kurang bersahabat di siang itu.

Sebuah pemandangan yang berbeda….

Selama ini, interaksi saya memang habis di komunitas sekolahan atau kuliahan. Pemandangan yang sering saya jumpai pun tentu saja tak jauh-jauh seputar sekolah dan kampus. Kalau di kampus, tentu pemandangannya berbeda. Banyak akhwat-akhwat yang tampil modis, menenteng hand phone, buku-buku, materi-materi kuliah, berpakaiaan selalu rapi, walau ada juga satu dua yang kadang kurang mempredulikan penampilan, misalnya stelan warna antara jilbab dan bajunya, kontras dan tidak mecing dan (maaf) terlihat agak norak. Tapi kebanyakan, bisa menata diri.

Sepintas penglihatan saya, akhwat kampus, biasanya “hanya” berinteraksi dengan sesama komunitas, kebanyakan para aktivis yang tergabung dalam lembaga dakwah di fakultas, maupun universitas. Homogen sekali. Kalaupun meluaskan jalinan komunikasinya, itu tak banyak dilakukan. Dan kesan yang ada, sering terlalu mengambil jarak yang berlebihan, padahal seharusnya tidak begitu. Idealnya seperti ikan di samudera yang luas. Hidup dilaut yang asin tetapi sang ikan sendiri tetap tawar. Tetap bergaul dengan siapa saja, karena bisa jadi orang-orang diluar sana mempunyai keilmuwan dan pengalaman lebih yang bisa dipetik.

Semua ini bukan apa-apa, kelak toh tak semua akhwat-akhwat itu akan hidup di kota. Banyak yang sepertinya akan pulang ke kekampung halamannya. Jelas, pola komunikasi dan keluwesan pergaulan akan sangat menentukan keberhasilannya hidup dikampung. Termasuk mempersiapkan sisi psikologis karena kehidupan di kampung dan kota jelas berbeda. Mau tak mau dia harus menyesuaikan keadaan yang dialaminya.

Untuk itu, bersiap-siaplah menyandang predikat akhwat kampung.

Kriterianya, memasak harus bisa, luwes dalam bergaul, tak perlu menutup diri, memahami medan dan kondisi sosial masyarakat kampung sehingga bisa akrab dan disenangi masyarakat sekitar. Terus, karena tak selamanya seorang akhwat kampus akan bersuamikan pekerja kantoran, tentu harus membayangkan pemandangan lain. Ketika pulang kampung, dia bisa jadi akan bersuamikan seorang petani biasa, seperti Mbak Rofi tadi. Dan, itu artinya, bersiap-siap untuk berteman dan berkawan dengan lumpur. Siap atau tidak…?

freelance_corp @yahoo.com

6 Responses to "Akhwat Kampung"

Anonim mengatakan...

Insya Allah,.. aku siap jika mesti di boyong ke kampung :)....

Amin....

-pyur-

Anonim mengatakan...

Itu Pung, siap diboyong ke kampung tuh. (^_^)
Gék ndang. Isih nunggu apa manéh ta?

penakayu mengatakan...

belum lulus kuliar neh bro :-p

Anonim mengatakan...

Kalo kesiapan untuk hidup susah, ane kira para akhowat ga perlu disangsikan lagi. Mereka sudah terbiasa sangat menderita. Cuma untuk urusan bertani, kembali lagi pada kafaah masing2 orang. Jika dia punya potensi menjadi pebisnis yg handal, IT yang jenius, dokter yang hebat, masa ente suruh ke sawah? Sayang kan ilmunya? hehhehe

Afrianto Daud mengatakan...

Good, good, good. :))
Boleh juga nih judulnya, 'akhwat kampung". It's a new genuine term.

Maju terus bung Yon. Cepatin selesaikan kuliahnya. Selamat ketemu di kampung. "Dunia yang sebenarnya".

Salam

Anonim mengatakan...

Tulisannya sangat inspiring.. Agak menampar saya, karena saya jadi ingat dengan kecenderungan2 saya utk menjadi sangat kapitalis akhir2 ini. Trima kasih sudah menyadarkan saya seperti itu..