(3) Lebaran Tuan Presiden



Wolak Waliking Jaman

Siang Edan Ora Keduman

Jaman Sudah Berbalik

Yang Tidak Gila Tidak Kebagian

(Joyoboyo)

Jaman memang semakin berubah, hidup semakin keras. Kedamaian dan kebahagiaan di negeri ini rasa-rasanya menjadi harta yang semakin sulit saja didapatkan. Sementara banyak orang yang kehilangan akal sehat untuk meraih kebahagiaan, misalnya dengan perantaraan mencari materi dan kekuasaan sebanyak dan sebesar mungkin. Padahal, kebahagiaan sejati hidup bukan pada materi, tetapi pada hati. Ya, kebahagiaan itu ada dalam hati kita.

Lebaran Kebahagiaan.

Seharusnya, lebaran kemarin menjadi momentum rakyat di negeri ini untuk bisa sedikit merasakan kebahagiaan. Nyatanya, memang tak banyak yang berubah di negeri ini. Rakyat tetap sengsara. Sementara, Tuan Presiden menggelar open house di istananya. Ritual yang sebenarnya merupakan pukulan telak bagi rakyat. Dengan adanya open house itu. Artinya, rakyat datang ke istana untuk meminta maaf kepada penguasa, bukan penguasa yang datang kepada rakyatnya. Sungguh, jaman memang telah berubah. Penguasa bukan melayani, tapi dilayani.

Padahal, tak ada kata yang lebih indah saat lebaran, selain penguasa meminta maaf kepada rakyat Indonesia seluruhnya, kemudian bekerja keras untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik. Lebih makmur, lebih sejahtera hidupnya. Tapi, rupanya tradisi semacam ini masih impian belaka. Entah, kapan kita akan mempunyai pemimpin yang sebenarnya. Pemimpin dan senantiasa mengayomi, melindungi dan berpihak kepada rakyat.

Tuan Presiden

Dari penampilannya memang murah senyum, hati-hati dalam bicara, tak sering terlihat marah. Singkatnya, citra di media begitu mempesona. Tapi, di jaman sekarang ini dengan uang semuanya bisa dipoles hingga terlihat wajah mempesonanya. Begitulah gambaran Tuan Presiden. Tapi, kita tak boleh hanyut dalam pesona itu. Tak perlu banyak alasan untuk mewaspadai wajah buram dibalik pesonanya. Ingat saja satu peristiwa ketika harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jadi melambung tinggi. Oh, sungguh membuat kita sebagai rakyat harus menelan pil pahit kebijakan itu. Bahkan bisa jadi kriminalitas -walaupun tidak dibenarkan- yang melanda negeri ini marak karena imbas kebijakan itu.

Harga barang naik, rakyat semakin menjerit. Tak punya uang, hidup miskin, akhirnya melakukan kriminalitas adalah jalan keluarnya. Bukan...bukan untuk mengumpulkan harta yang melimpah. Tapi hanya sekedar untuk mengisi perut yang kosong, menyambung hidup. Bukan seperti (maaf), orang-orang seputar kekuasaan di Jakarta yang sudah kelewat batas kehilangan akal sehat demi kemewahan materi. Ah, sudahlah.

Lantas, bagaimana kita seharusnya hidup.

Kawan, seharusnya penguasa peduli terhadap kita. Tapi, harapan itu tak usahlah terlalu kita impikan. Justru, kita perlu ciptakan harapan dari hasil kerja keras kita sendiri, tak usahlah terlalu bergantung Tuan Presiden (negara). Kibarkan dan kumadangkan semangat kita. Kita mulai saja hidup dengan kerja keras. Walaupun begitu, sesekali mengkritik penguasa itu perlu agar tidak kelewatan sebab inilah kewajiban kita untuk mengingatkan.

Yang terpenting sekarang adalah, tumbuhkan optimisme. Tumbuhkan semangat hidup kita. Melakukan yang terbaik untuk hidup kita dan sekeliling kita. Bukan karena orientasi egoisme semata, tapi juga karena sesama. Seperti kata pemikir Islam dari Mesir, Sayid Qutub “Orang yang hanya hidup untuk dirinya sendiri, ia akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil, sementara orang yang mau memikirkan dan membantu orang lain, ia akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar”.

Akhirnya, kita doakan semoga Tuhan membuka pintu hati Tuan Presiden agar lebih peduli terhadap sesama (rakyat). Kita maafkan jika memang kita merasa ada dosa-dosa politik yang telah dilakukan, sambil kita berproses untuk bisa memiliki pemimpin yang sejati. Di lain sisi, mari raih kebahagiaan tetapi dengan cara yang mulia, dengan cara yang benar tanpa kehilangan akal sehat kita. Semoga. (Yon’s Revolta).

~Snow Man Alone~

Purwokerto, 9 November 2006

2 Responses to "(3) Lebaran Tuan Presiden"

Bunda RaRa mengatakan...

iya sih, tapi klo presiden suruh suwon kerumah penduduk RI satu2,..wah bisa kelar tahun berpa silahturahminya hehehehe

makasih udah mampir n main ama raihan yah

penakayu mengatakan...

He he he iya, hanya maksudnya lebih ke makna simbolis aja. Misal merayakan lebaran bersama masyarakat Sidoarja yang kena bencana lumpur itu. Intinya, berempati dan meringankan beban mereka. Begitu Bunda :-)