Karena dia ingin dicinta
Karena dia ingin berbagi
Karena dia ingin dimengerti
Karena dia tak ingin sendiri
Karena dia ingin berbagi
Karena dia ingin dimengerti
Karena dia tak ingin sendiri
...
Namanya Nariyah. Seorang wanita berumur 40 tahunan. Pekerjaannya berjualan nasi rames, pecel dan berbagai makanan kecil keliling kampus. Konsumennya tak lain adalah para mahasiswa, dosen dan karyawan. Kemarin, saya membeli dagangannya. Yah, sekedar makanan kecil saja. Tak ada yang istimewa dari peristiwa itu. Tapi, ada cerita yang membuat saya sedih karena belum bisa membantu memberikan solusi yang tepat untuknya.
Saat saya memilih milih makanan, dan kemudian ingin menanyakan perihal makanan itu, tampak ada yang berbeda diwajahnya. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Lantas, saya berniat menanyakan saja, barangkali dia ingin bercerita. Dan benar. Belum sempat saya bertanya, dia sudah berkata “Mas, lagi pusing kie” katanya. “Lho, ada apa sih” jawabku. “Anu Mas, bojoku minggat”.
Hah, malang benar Mbak ini. Kemudian, dengan seksama, diantara deruman motor mahasiswa yang lewat dengan kencangya, dan tentu saja berisik sekali, saya mendengar ceritanya pelan-pelan. Ternyata, dia adalah istri ketika dari suaminya yang minggat itu. Suaminya katanya minggat ke Kalimantan menemui istrinya yang pertama, namanya Supinah. Dia tak tahu apa penyebabnya. Tahu-tahu, barang-barang berharga, dan pakaian sudah tak ada lagi dirumah. Rupanya, suaminya pergi meninggalkannya saat dia sibuk berjualan.
Karena itulah dia pusing, dia stress. Sementara saya masih tak tahu harus memberikan solusi apa. Dari penuturannya, suaminya tak kerja, dia hanya makan dan tidur saja di rumah Nariyah, ini versi ceritanya. Kemudian, saya berpikir kebelakang. Kok, mau-maunya jadi istri ketiga. Tapi, niat untuk bertanya tentang hal ini saya urungkan. Saya memilih untuk berfokus kepada apa yang dialaminya sekarang. Suaminya minggat jauh ke Kalimantan, untuk menyusulnya teramat jauh dan butuh uang banyak. Walaupun, diakui bahwa secara material suaminya tidak terlalu berperan. Tapi. Jujur, dia tetap butuh seorang suami. Ya, mungkin karena ia ingin dicinta, karena ia ingin berbagi, karena ia ingin dimengerti, karena ia tak ingin sendiri. Begitulah kira-kira tafsir hatinya yang sempat saya tangkap dari ceritanya.
Di tengah kebingungan juga, saya malah merasa terlalu bodoh yang baru saya sadari kemudian. “Mbak, menikah lagi aja”. Sejurus kemudian, dia menatap saya, sedikit agak kesal sepertinya, dan dia menghela nafas agak panjang dan masih terdiam. Saya benar-benar merasa tak enak telah mengusulkan solusi untuk menikah lagi. Habis, jujur saya tak tahu harus memberikan solusi apa. Dia, tampak terluka, tapi sebagai orang yang di curhati, saya belum bisa memberi solusi yang tepat. Hanya kata maaf dalam hati karena saya belum bisa membantunya.
Kawan, adakah yang bisa membantu mencari jalan keluar dari persoalannya..?.
Untuk Mbak Nariyah
Semoga Allah SWT memberikan jalan keluarnya.
Pada akhirnya, percayalah
Kekuatan iman satu-satunya yang membuat kita bisa bertahan
...
~Snow Man Alone~
Purwokerto, 8 NOvember 2006
3 Responses to "(2) Luka Seorang Istri"
Saya cuma bisa bantuin doa mas Hikaru, semoga Allah SWT memberikan jalan yang terbaik buat Bu Nar.
Om Nama Penaku bukan Hikaru lagi. Ganti Yon's Revolta :-p, biar kesannya lebih progresif GT :-)
oh jadi sempat ganti2 nama pena ya, mas. he2...
"Mbak nikah lagi aja"
"ama mas aja gimana" he222 (versi saya)
Posting Komentar