Kader Tarbiyah, Baca Apa Sekarang?
Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis, tinggal di Depok)
Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis, tinggal di Depok)
Baca apa sekarang? Mungkin bagi sebagian orang, ini pertanyaan remeh dan tidak penting. Yang lebih penting mungkin apakah sudah punya rumah sendiri atau belum? Apakah sudah punya mobil sendiri apa belum? Apakah bisnisnya sudah sukses apa belum? Tapi, walaupun tak menafikan semuanya itu, pertanyaan yang pertama tetap perlu direnungkan, baca apa sekarang? Kenapa? Semua karena persoalan ilmu.
Sebuah ujaran menggugah sering kita dengar sewaktu kecil, “Barangsiapa yang menginginkan dunia maka hendaklah berilmu. Barangsiapa yang menginginkan akhirat, maka hendaklah dengan ilmu. Barangsiapa yang menginginkan keduanya, maka hendaklah dengan ilmu.” Konon ini bukan hadis. Hanya saya sepakat dengannya. Ya, untuk bisa selamat dunia akhirat ilmu adalah kuncinya. Ilmu apa? Yang pertama adalah tauhid. Baru disusul ilmu yang lainnya.
Dulu, bacaan utama kader Tarbiyah tentu Al-Quran. Disusul kitab tafsir pergerakan “Fi Zhilalil Quran” karya Sayyid Qutb, buku-buku karya Hasan Al-Banna, Yusuf Qardawi, Abu Ridho. Disusul kolom-kolom menggugah dari Syeh Rahmat Abdullah, begitu juga kolom-kolom Anis Mata. Majalah Sabili, Saksi, Hidayatullah, Tarbawi juga menjadi santapan. Untuk generasi 2000-an, buku-buku terbitan Pro-U media juga dilahap sebagai camilan. Khusus anak Tarbiyah “Gerakan” buku-buku analisis sosial plus buku-buku “Kiri” juga disikat sebagai perbandingan. Singkat kata, generasi waktu itu, kader Tarbiyah membaca buku.
Bagaimana dengan kader Tarbiyah sekarang?
Saya tak tahu. Tapi, kalau boleh disederhanakan, ketika saya kepo mengintip status Facebook, Twitter atau Instagram kader-kader Tarbiyah sekarang, amat jarang update status misalnya buku apa yang sudah dibaca, atau menulis tentang sesuatu yang di sana dia kutip pemikiran tokoh dalam sebuah buku. Yang banyak, misalnya update status barusan nonton film di bioskop, sudah nonton film “Islami”. Apakah nonton film tak boleh? Ya tentu silakan saja.
Tapi, saya sedang bicara peradaban. Film memang bisa berkontribusi terhadap kebudayaan, bagian dari peradaban. Tapi, bagi saya buku tetap yang utama. Peradaban Islam di tanah air ditandai dengan buku-buku yang dihasilkan. Itulah jejak pemikiran, jejak sejarah bagi anak-anak cucu kita kelak. Juga, menjadi kontribusi pemikiran, demi menyelesaikan problem-problem ke kinian.
Kolom ini saya tulis, terinspirasi oleh pameran “Sutra Bunga Teratai” yang digelar salah satu komunitas agama Budha bertempat di perpustakaan Indonesia (UI) bulan September 2019 ini. Pameran itu menampilkan bukti manuskrip yang ditemukan di berbagai negara. Manuskrip ajaran Budha. Yang artinya, itu menjadi bukti bahwa waktu itu ajaran Budha sudah ada. Sebagai bukti eksistensi mereka. Artinya apa, tulisan menjadi bukti peradaban. Setidaknya, peradaban mereka.
Tapi, seperti yang seringkali dipetuahkan oleh istri saya (ahai). Berprasangka baik dan selalu berpikir positif. Baiklah. Saya yakin kader-kader Tarbiyah sekarang tetap rajin membaca. Setidaknya, menjadikan komentar-komentarnya semakin bermutu. Itu dulu. Soal peradaban? Biarkan menjadi urusan segelintir orang. Seperti kata Soekarno, dunia ini memang hanya digerakkan oleh beberapa orang saja.
Terakhir, hari ini setidaknya kita ingat pesan Ustaz Rahmat Abdullah “Waspadai kata-kata, istilah, simbol-simbol, hal itu tak serta merta timbul begitu saja. Ada think-tank yang bekerja siang malam menciptakan istilah-istilah, jargon-jargon, dan simbol-simbol bertujuan untuk merusak Islam. Mereka sangat serius menciptakan istilah-istilah untuk memerangi dakwah ini”. Sebuah pesan yang menggetarkan bagi yang bisa merasakan. Bagaimana cara melakukan perlawanan? Buku sebagai jawaban. []
0 Response to "Kader Tarbiyah, Baca Buku Apa sekarang?"
Posting Komentar