Pejuang Depan Masjid Istiqlal

Pejuang  Depan Masjid Istiqlal
:Yons Achmad*

Mereka memang penjual. Tapi ijinkan saya menyebutnya pejuang. Ya, pemandangan para pejuang itu saya jumpai pagi tadi selepas shalat Idul Adha di Masjid Istiqlal, Jakarta.  Mereka menjajakan beragam barang dagangannya. Semisal, menjual mesin jahit mini, sarang semut, pengasah pisau, orbal buku sepuluh ribuan, pengaman gas anti bocor, alat sakti pengganti antena, batu akik murah meriah. Semua itu beberapa diantaranya yang saya pandang unik. Selebihnya penjual makanan dan minuman.

Kenapa saya menyebutnya pejuang? Selepas shalat barangkali hanya satu sampai dua jam saja jamaah keluar masjid. Dan itulah waktu singkat bagi mereka untuk bisa menjual barang-barang dagangannya. Dengan beragam demo yang atraktif juga teriakan-teriakan memikat calon pembeli. “Ayo obral buku, tambah ilmu hanya sepuluh ribu” “Cukup tiga detik pisau Anda setajam silet”, “Sarang semut obat alami segala macam penyakit”  “Silakan dicoba mesit jahit praktis tanpa ribet”

Saya mengamati perjuangan mereka dengan berkeliling. Hasilnya, kira-kira dalam setengah jam mereka bisa menjual produk antara 3 sampai 5 barang laku. Dalam hati saya bergumam, boleh juga mereka. Saya tak tahu berapa misalnya mereka mendapat keuntungan berjualan sekira dua jam itu. Tapi, kalau ditaksir saja misalnya keuntungan antara 50 sampai 300 ribu, barangkali sudah cukup bagi mereka sebagai imbalan perjuangan selama dua jam itu.

Pemandangan itu mengingatkan saya atas ucapan seorang rekan bisnis. Kunci dalam bisnis adalah penawaran. Ya, mereka begitu gencar melakukan penawaran. Dengan langsung mendatangi kerumunan manusia yang berpotensi menjadi pembeli produk mereka. Kita, yang barangkali shalat berjamaah di situ, mungkin dari rumah tak pernah berpikir misalnya akan membeli mesin jahit mini, alat pengasah pisau, buku murah dsb. Tapi karena ada penawaran dan murah, akhirnya kita membeli produk itu. Dari pemandangan itu, saya kira ucapan seorang rekan itu menemukan relevansinya.

Sebagai pejuang  sudah pasti harapan mereka itu uang. Tapi, ketika saya lihat para penjual itu, rata-rata adalah bapak-bapak, bisa dikatakan mereka sudah berkeluarga, punya anak, punya istri. Barangkali itulah perjuangan para ayah untuk bisa mencari “sesuap nasi”, nafkah untuk anak istri. Sungguh sebuah perjuangan yang perlu diapresiasi, karena cara mereka halal dan saya kira juga tidak merugikan atau mengecewakan orang.

Berbeda dengan cara anak-anak muda yang juga di depan masjid itu. Mereka mengambil keuntungan dengan banyaknya jamaah di masjid Istiqlal. Mobil-mobil di stop disuruh parkir di pinggir jalan, juga motor-motor disuruh parkir di jalur transjakarta. Mereka memaksa pemotor, pemobil membayar dimuka uang parkiran “ilegal” itu. Untuk motor Rp 10 ribu, untuk mobil Rp 20-25 ribu. Uang sudah didapatkan, mereka tinggal kabur, alias motor dan mobil itu dibiarkan begitu saja, tanpa dijaga. Mungkin pemandangan itu wajar. Tapi bagi saya tidak. Kalau memang mereka berniat berbisnis, tentu akan menjaga motor dan mobil itu. Tapi mungkin bakalan ribet urusannya, apalagi kalau misalnya ada motor atau mobil yang hilang. Tak mau bermasalah, sudah dapat uang, kabur saja. Contoh cara-cara “bisnis” yang menjengkelkan.

Tapi, saya kira, kalau bicara soal keberkahan usaha, insyallah lebih berkah para penjual (pejuang) dibanding anak-anak muda tukang parkir dadakan sontoloyo itu. Selamat kepada para pejuang. Khusus kepada para ayah, apa kabar perjuanganmu?

Jakarta, 24 September 2015

*Penulislepas, tinggal di Jakarta bersama putri kecilnya, Jingga Kanaya.

0 Response to " Pejuang Depan Masjid Istiqlal"