Sebulan di Kampung Halaman

Sebulan di Kampung Halaman
:Yons Achmad

Kalau kau tanya di mana letaknya banyak kenangan?
Tak lain tak bukan kampung halaman sebagai jawaban

Tiga hari sebelum ramadhan 2015, saya dirawat di RS Pelni Jakarta. Hasilnya, dokter bilang “Besok Anda harus dioperasi”. Keringat dingin mengalir  disekujur tubuh. Jarum saja saya takut apalagi perut dibedah. Alamaak. Ngeri kali itu Bah. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan sekitar 25 juta. Belum punya BPJS pula. Artinya, harus bayar ongkos dokter  sendiri.

Sementara uang  hasil kerja, hanya tinggal 10 juta.  Itupun sebenarnya untuk persiapan lebaran di kampung.  Setelah dipikir-pikir, diputuskan tetap operasi, tapi di Magelang, kampung halaman. Konon katanya biaya operasi lebih murah, bisa dibawah 10 juta. Atas pertimbangan itu, bismillah, pulang kampung. Bersama ibu mertua, istri dan anak tercinta. Jingga Kanaya.

Pesawat mendarat lancar di Jogjakarta. Lalu dijemput kakak menuju Magelang. Hari itu juga, saya pergi ke Rumah Sakit Tentara (RST). Langsung dioperasi. Tiga hari kemudian bisa pulang. Seminggu kemudian kontrol. Sayang ada infeksi. Luka  bekas operasi jadi dibuka lagi. Perkiraan seminggu atau sepuluh hari sudah sehat, tapi sampai sebulan, bahkan sampai saya menulis cerita ini, belum sembuh juga.

Apa boleh buat, karena sudah akhir bulan Juli dan Agustus sudah menanti, besok saya pulang ke Jakarta. Yah, mau tak mau, terpaksa saya harus kembali ke ibu kota. Kembali bekerja, menafkahi anak dan istri. Tak menjadi soal. Memang itu sudah kewajiban. Karena sakit, Juni dan Juli saya tak bekerja. Hanya bisa sesekali menulis, menjual artikel. Lumayan, dapat 2 juta.  Tentu saja tak cukup. Memang kemudian agak kacau agenda kerja saya dan tim. Tapi, atas kejadian ini, saya coba ambil hikmahnya saja.

Sekira sebulan di kampung halaman ada beberapa hikmah yang bisa saya ambil. Istri dan anak menjadi akrab dengan eyangnya, termasuk dengan keluarga besar, saudara-saudara di kampung. Jadi akrab situasi kampung dengan nuansa pedesaan yang kental. Bahkan istri pernah saya lihat memberi makan kambing peliharaan, juga ayam walau sempat dikerjar bebek-bebek yang membuatnya lari ketakutan. Jadi bikin senyum-senyum sendiri.

Istri makan banyak sayuran segar. Yang membuat ASInya banyak. Hasilnya,  Jingga bobot badannya melonjak tajam. Gendut betul. Umur 4 bulan sudah sekitar 7,5-8  Kg.  Saya juga senang melihatnya akrab dengan orang-orang desa. Sementara, saya menikmati ketenangan selama sekira sebulan.  Bangun jam 4, sehabis subuh tilawah lalu jalan-jalan. Menulis sampai jam 10.30 lalu tidur sampai Dhuhur. Selebihnya, membaca buku, menonton TV, jalan-jalan sore dan menerima tamu.

Sebulan di kampung halaman, satu mimpi tercapai. Rencana pendirian Rumah Baca menemukan bentuknya. Namanya Taman Bacaan Masyarakat “Sanggar Anak Merapi”. Nama sederhana yang coba saya berikan. Tugas berikutnya, mencari dan berburu buku-buku. Khususnya buku-buku anak, cerita-cerita  Islam dan majalah atau buku-buku pertanian. Dua jenis buku itu yang begitu dibutuhkan orang-orang di kampung halaman.

Kampung halaman: selalu menyimpan banyak kenangan. Begitu juga tempat di mana mimpi-mimpi menemukan bentuk nyatanya. Biarlah saya dan keluarga bekerja “mati-matiaan”  di  Jakarta. Tentu yang utama untuk mencukupi kebutuhan hidup. Selebihnya, berdoa kepada Allah agar juga melebihkan rejeki sehingga  bisa mewujudkan mimpi-mimpi. Di kampung halaman. Tempat kelahiran, masa kecil yang penuh kenangan.

Magelang 29 Juli 2015.





0 Response to "Sebulan di Kampung Halaman"