Cerita Ubud: Surganya Bali

Cerita Ubud: Surganya Bali
:yons achmad*


Ubud, Bali, melambai-lambai
Saya orang yang mudah jatuh cinta
Dan kali ini saya kembali tergoda...

Suatu hari di bulan Mei (2012) Tuhan menerbangkan saya ke sana. Ubud: Surganya Bali: Begitu kata orang. Sudah pasti, Tuhan memang sedang berbaik hati. Sekian lama bekerja, bekerja dan bekerja (maaf agak sedikit hiperbola), akhirnya impian ke tempat ini tercapai juga. Walau jujur, sebenarnya tak ada yang saya cari di tempat ini. Saya hanya membiarkan ke mana angin akan membawa.

1,5 jam nyasar-nyasar naik motor dari Denpasar, sampai juga di Ubud. Dan saya masih belum ada rencana akan kemana, akan mengunjungi apa, bertemu dengan siapa. Dalam urusan traveling, saya memang payah. Lalu, tiba-tiba ingatan melayang. Saya pernah dikasih hadiah oleh seorang teman Tionghoa beragama Katholik, novel Bahasa Inggris berjudul “Eat, Pray and Love” karya Elizabeth Gilbret. (Kamu apa kabarnya?)

Dalam novel itu, ia bercerita soal makan dan terpuaskan di Itali, soal spiritualitas ia jumpai di India. Dan di Bali ia menemukan cinta. Beberapa waktu kemudian novel itupun di filmkan. Salah satu tempat shooting film itu Bali. Tepatnya Ubud. Tanpa pikir panjang, saya telusuri saja jejak “pray, eat, love” itu.

Pasar Ubud. Sang Tokoh utama dalam film nampak mengunjungi tempat ini. Dan saya pun coba berjalan-jalan ke tempat ini. Saat saya kesana, waktu masih pagi, sekira jam 9-an, para pedagang cinderamata dan seni Bali baru mulai menata dagangannya. Saya teringat “anak-anak” saya. Lalu saya comot dua tas dengan tulisan “I Love Bali” sebagai kenang-kenangan nanti kalau kembali ke Jakarta. Setidaknya, ini oleh-oleh kecil dari seorang “ayah”

Napak tilas berlanjut ke Monkey Forest (Wana Wanara). Monyet-monyet berkeliaran dengan bebasnya. Saya tak masuk ke dalamnya. Hanya memandang dari pagar luar saja. Berlanjut menyusuri sawah-sawah menghijau. Saya merasakan ketenangan dan sebenarnya ingin berlama-lama, tapi waktu tak memungkinkan. Sebelum pulang, mampir, tepatnya di mampirkan ke rumah makan vegetarian oleh seorang teman. Karena teman itu ada urusan, saya tinggal sendirian. Disinilah pada akhirnya pikiran dan perasaan-perasaan saya tak karuan. Dan serbuan pertanyaan-pertanyaan tanpa ampun menanti jawaban-jawaban.

Love. Bicara tentang cinta, aduh. Biasa saja, setiap orang mengalaminya. Tapi biarlah. Saya biarkan jari jemari ini menari sesukanya. Saya memang pernah berteman dengan beberapa perempuan, dan selalu berakhir dengan tidak mengenakkan. Begitulah, ditambah lagi kelemahan saya adalah mudah mencintai dan susah melupakan. Alamaak. Sudahlah.

Tapi, dalam hidup saya punya prinsip, jangan pernah menyesal pernah mencintai. Dan, saya berjanji untuk tidak akan pernah membenci orang-orang yang pernah saya cintai. Rasa cinta tumbuh di sana, rasa cinta tumbuh di sini, semuanya membawa cerita. Selalu dan selalu saya tentu mengabadikannya.

Konyol memang, disaat teman-teman saya seangkatan sudah bangga memamerkan anak-anak mereka, saya malah masih berkutat pada sesuatu yang absurd, tidak jelas. Kadang saya tersenyum-senyum sendiri, ditengah berantakan dan kekacauan kenapa saya masih hidup saja. Entahlah. Lalu, dalam renung kecil, diam-diam muncul sesuatu yang mengganjal pikiran:

Sebuah pertanyaan yang belum terjawab
Apakah seseorang lebih menyukai perjalanan
Dibanding sebuah pernikahan?

Yah, barangkali mengajukan pertanyaan itu kadang memang lebih penting dari sekedar jawaban. Biarkan gelisah dan galau melanda. Hanya, kalau boleh berkhayal, kayaknya asyik kalau kegelisahan dan kegalauan ini tertumpah ruah. Jadi novel misalnya. Agak mengada-ada memang sebab saya tak mengerti sastra. Tapi, kalau misalnya dicoba, tentu tak ada salahnya ya.

Saya teringat novelis Puthut EA pernah berkata, untuk bisa menulis (novel) “Ia tahu apa yang akan diceritakan” dan “Ia tahu bagaimana cara menuliskannya”. Bagi saya, itu tak cukup, mestinya ditambah “Ia tahu untuk siapa novel itu ditulisnya”

Yang terakhir saya sudah menyimpan sebuah nama.
Baiklah, sementara ini ceritanya.

Selamat tinggal Ubud
Tunggu lagi kedatanganku
Dan kukembali akan cium keningmu...


*Penikmat secangkir teh.

1 Response to "Cerita Ubud: Surganya Bali"

a daydreamer mengatakan...

saya suka ini:

"Rasa cinta tumbuh di sana, rasa cinta tumbuh di sini, semuanya membawa cerita. Selalu dan selalu saya tentu mengabadikannya".


:))