Falsafah Rerumputan

Falsafah Rerumputan
Oleh
Yons Achmad*

Rerumputan. Ya, ia digilas, ia diinjak-injak, ia dicemooh, ia diremehkan, ia direndahkan. Namun ia senantiasa terus tumbuh dan tumbuh. Ah, falsafah rerumputan sepertinya menjadi ibarat yang bagus bagi mereka yang sedang memendam kegelisahan teramat dalam. Tentang jarak yang masih memisahkan mereka. Antara mimpi-mimpi dan kenyataan yang dihadapinya.

Berhasil. Ya, berhasil. Siapa yang tak ingin berhasil dalam hidupnya? Tentu tak ada siapapun orangnya yang menginginkan nasib buruk menimpanya. Hanya saja, memang tak semua beruntung. Setidaknya belum beruntung. Nasib belum bercerita tentang kenangan manis dalam novel hidupnya.

Pada sebuah senja hening. Beberapa hari lalu, saya bertemu dengan seorang profesor. Beliau seorang (mantan) salah satu pendiri majalah Tempo. Saat bicara empat mata beliau bercerita dan tak menyangka.

Ya, Dahlan Iskan, Menteri BUMN yang sekarang menjadi buah bibir media dulu pernah keleleran, ditampung di rumahnya, dipinjami sarung agar tidak tidur kedinginan. Sang profesor tak menyangka kalau hidupnya bakal berhasil seperti sekarang ini. Jadi Menteri, punya bisnis media dan beragam usaha. Semua itu, menurut sang profesor karena hasil kerja kerasnya. Dia mengandalkan dirinya sendiri untuk bisa berhasil, tidak bergantung pada siapa-siapa. Lalu sang profesor pun memujinya.

Barangkali, bagi yang belum berhasil: dalam pekerjaan, karir maupun bisnis akan serba salah. Mencoba dekat dengan pengusaha dikira ingin minta duitnya, padahal ya tak terlalu buruk, hanya mungkin ingin berkongsi saling menguntungkan. Mencoba dekat dengan politisi dikira ingin akses gratis padah barangkali hanya ingin bekerjasama secara profesional.

Begitu juga mencoba bersikap baik dengan seorang teman secara sederhana dan semampunya saja kadang sering dicurigai. Begitulah. Memang terkadang semuanya itu tidak benar-benar ada, hanya seseorang mungkin sedang sensitif dan terlalu perasa saja. Tapi kalau misalnya memang ada bagaimana? Pasti dalam hatinya akan muncul sesuatu.

Apa yang lalu dirasakan? Dendam, ya dendam. Tapi mesti hati-hati dengan dendam ini. Kalau dendam pribadi saya kira oke-oke saja. Dalam arti diam-diam dalam hatinya ingin membuktikan, berjuang sekuat tenaga agar dirinya berhasil. Kalau yang demikian saya kira tak mengapa. Tapi, kalau dendam hanya karena orang lain, ingin menunjukkan diri kalau dirinya nantinya bakal berhasil. Ah yang demikian bahaya, bisa riya’ (sombong) nanti jatuhnya.


Pada akhirnya, ibarat rerumputan: apapun yang terjadi, terus bekerja, semampu kita, mengandalkan diri kita sendiri, biarkan cemoohan atau hal-hal lain itu ada. Yang pasti seperti rerumputan, tak perlu bersedih hati. Tetap tumbuh dan terus tumbuh menghijau menghiasi taman-taman kehidupan.

Rumah Senja: Kamis: 19 April 2012/01. 03

*Penulis, tinggal di @senjakarta

0 Response to "Falsafah Rerumputan"