Damailah Seperti Desaku

Damailah Seperti Desaku
Oleh
Yons Achmad*

"Berbuat baiklah kepada orang-orang jahat
karena merekalah yang paling banyak
membutuhkan kebaikan.”

Ashleigh Brilliant, penulis Inggris

Senja ini, mungkin dua hal sudah cukup bagiku. Secangkir teh dan doa tulus agar negeri ini kembali damai. Seperti desaku. Ya, seperti desaku. Jujur, hari-hari ini saya agak risau dengan beragam kekerasan yang terjadi di negeri ini. Penembakan orang yang dituduh teroris secara semena-mena, walau belum terbukti kesalahannya, bentrokan antar warga di Kalimantan, kekerasan berbau premanisme di Jakarta, dsb.

Entah, ini fenomena apa.

Pakar sosial (William Chang) di media massa mengatakan bahwa kekerasan yang melanda kita sehari-hari ini disebabkan karena “Frustasi sosial”. Orang cenderung melihat hidup tak lagi mempunyai makna. Hidup orang lain cenderung dinilai sangat murah, sama sekali tak dihargai martabatnya sebagai manusia.

Frustrasi sosial yang melanda sebagian rakyat itu, kata William, disebabkan menurunnya kualitas pendidikan kemanusiaan, baik di keluarga, sekolah, maupun di masyarakat. Di sisi lain, penegakan hukum yang tak konsisten telah mendorong sebagian masyarakat tidak lagi menghiraukan hukum

Guru Besar Psikologi dari Universitas Indonesia Sarlito Wirawan Sarwono melihat, maraknya aksi kekerasan massa dipicu oleh terlalu seringnya tokoh bangsa berantem dan berdebat tanpa ujung di media massa, khususnya televisi.

”Dalam teori psikologi, ada namanya teori modeling. Ilustrasinya, jika anak kecil diberi tayangan film yang di dalamnya ada adegan memukuli boneka, saat anak itu diberi boneka, ia akan ikut-ikutan memukuli boneka. Jika di film itu bonekanya dibelai dengan kasih sayang, si anak itu juga akan membelainya dengan kasih sayang,” katanya di sebuah media nasional.

Itu contoh analisis para pakar.
Tapi nyatanya kekerasan masih saja kerap terjadi.
Kenapa?

Lirih, senja ini saya mendendang lagu “Tuhan Maha Cinta” Nidji

......Perangi neraka di dalam hatimu,
Damaikan jiwamu dengan cinta Dia....

Meresap. Menyejuk.
Lalu, saya merenung. Saya orang biasa.
Tak cukup berkuasa untuk merubah keadaan.
Hanya saya bermimpi, andai negeri ini damai seperti desaku.

Ya. Desa itu berada di lereng Merapi Magelang, tepatnya Talaman. Penduduk mayoritas muslim. Namun, di pojok desa bertengger gereja. Cukup besar. Juga, ada rumah khusus para suster. Tapi, hidup mereka damai. Tak penah cek cok. Tak pernah ada kekerasan bahkan bakar-bakaran. Yang nampak adalah harmoni, dan perbedaan justru membuat mereka dewasa.

Saya bayangkan negeri ini semacam itu.

Tuhan menciptakan negeri ini begitu ragam. Suku, agama, budaya, keyakinan, adat istiadat. Semua tahu ini kekayaaan kita. Masalah, pasti muncul dalam negeri yang beragam itu. Hanya saja, kekerasan untuk penyelesaiaan masalah bukan jawaban. Dan dendam, selamanya tak pernah menjadi jalan keluar.

Terkesan naif. Tapi begitulah adanya. Mungkin, cara terbaik untuk mewujudkan kedamaiaan mula-mula mendamaikan hati kita masing-masing. Membuka hati untuk berdialog dengan keadaan, bukan dengan kekerasan. Dengan begitu, harapannya kita tak menyaksikan lagi orang-orang mati sia-sia. Memang mudah dikatakan tapi perlu kesungguhan untuk mempraktekkan.

Begitulah. Saat ini saya begitu rindu kedamaian. Damailah negeri ini, seperti desaku. Juga, kedamaiaan, dalam hatimu. Selalu. []

*Penulislepas, tinggal di Jakarta

3 Responses to "Damailah Seperti Desaku"

secangkir teh dan sekerat roti mengatakan...

salam hangat!

andi mengatakan...

sayang desaku sudah tidak seperti dulu... hiks...hiks...

penakayu mengatakan...

Secangkir teh@ Salam hangat selalu :-)
Andi@ he he