Biola Guru Isa
:yons achmad*
“Engkau coba sekali lagi.
Biarkan perasaan membawamu
hanyut membumbung dengan musik itu.
Jangan engkau berpikir.
Tenggelamlah ke dalam jiwa. Engkau bisa”
...Dan lelaki itu menggesek kembali biolanya
Begitulah, Guru Isa mengajari bermusik Hazil, sahabat seperjuangannya...
Guru Isa dikenal orang sebagai seorang guru biasa. Guru pada jaman perjuangan dulu. Dulu sekali ketika negeri ini masih dalam penjajahan. Penjajahan yang sebenar-benarnya. Bukan penjajahan budaya seperti jaman kita sekarang. Mungkin kau bertanya, kenapa menghadirkan Guru Isa disini? Sabar. Nanti kau juga akan mengerti.
Memang, saat ini saya sedang gandrung dengan biola. Suka menyaksikan dan menikmati orang memain biola. Entahlah, ini soal rasa, ini soal selera. Dulu, saya menyukai perkusi. Itulah alunan dendang yang mewakili selera musik saya. Khususnya ketika dimainkan untuk mengiring lagu-lagu etnis. Saya sendiri sangat suka memain perkusi. Dan biola, adalah perkembangan dari selera dalam penikmatan musik. Kini, saya sedang tergoda biola.
Lalu, apa hubungannya dengan Guru Isa? Begini. Saat saya menyuka biola itu, tiba-tiba tokoh Guru Isa ini hadir. Ia memang tokoh khayalan saja, tokoh fiktif. Tapi, kalau meresepi jalan hidupnya, rasa-rasanya seperti pernah hidup saja tokoh yang satu ini. Begitulah hebatnya pengarang. Dia bisa membuat tokohnya abadi, membuat tokohnya terkenang. Sebuah teknik penciptaan kharakter yang kuat. Perlu ditiru.
Guru Isa. Ia tokoh dalam novel “Jalan Tak Ada Ujung” karya Mochtar Lubis. Berumur 35 tahun, berpenghasilan pas-pasan, hidup pada jaman penjajahan Jepang. Beristrikan perempuan bernama Fatimah. Guru Isa seorang yang lembut, tak suka kekerasan. Kendati dia diam-diam didaulat seorang pemimpin pergerakan pemuda. Artinya, dia dipercaya betul sebagai tokoh pergerakan oleh anak-anak muda lain waktu itu.
Dalam memimpin perjuangan, dia berhasil.
Hanya, dalam urusan rumah tangga, sedikit kacau. Guru Isa teringat pada malam perkawinannya. Dia tersenyum pada dirinya sendiri. Tapi tidak lama. Kemudian mukanya menjadi agak suram. Lalu, ingat enam bulan setelah kawin. Pertama-tama tidak kuasa “meladeni” istrinya Fatimah. Telah lama terasa padanya tenaganya sebagai laki-laki berkurang. Seperti air dalam kaleng yang tiris, perlahan-lahan habis, hingga akhirnya kering. Dan, esok malamnya. Kembali Ia tak sanggup. Wajah istrinya seakan mengumpat. Malam lain demikian pula. Kemudian istrinya menjadi dingin seterusnya.
Saaat saya membaca novel itu, saya menduga Guru Isa terkena impotensi. Tapi dugaan saya salah. Dokter mengatakan bahwa itu semacam psychischenya sendiri. Yang dapat mengobati hanya jiwanya sendiri. Atau sesuatu diluar yang dapat melepaskan tekanan jiwanya yang merasa tak kuasa. Pengarang, membiarkan pembaca bertanya-tanya.
Lalu saya menemukan bahwa semasa muda, dia begitu terkenang dengan Tien, gadis yang begitu dicintainya semasa sekolah, yang masih terkenang hingga dia memutuskan kawin dengan Fatimah. Tien, hilang entah kemana. Tak tahu kabar beritanya.
Guru Isa. Ia tahu, Fatimah pura-pura setia dan mencintainya setelah malam perkawinan itu. Guru Isa, juga mengutuk diri sendiri ketika suatu ketika mendapati sebuah barang kepunyaan Hazil tertinggal di kamar istrinya. Kau pasti tahu, apa yang diperbuat Hazil pada istri Guru Isa.
Akhirnya, hanya biola itu sebagai teman dalam hidupnya. Memainkannya adalah semacam kedamaian tersendiri Lantas, pelan-pelan menyadari bahwa dalam hidup, tak ada tempat untuk pikiran kacau dan ragu-ragu. []
*Penulis, tinggal di Jakarta
0 Response to "Biola Guru Isa"
Posting Komentar