Penebang Kayu dan Seniman Agung









Penebang Kayu dan Seniman Agung
:yons achmad*

Hutan adalah nafas. Ia selalui setia menjaga kehidupan kaum kota. Tapi, kadang, orang kota tak begitu menyadarinya. Bahkan begitu kurang ajar. Tak pernah ada dalam kamus mereka untuk menanam pohon kehidupan. Tidak pernah mengerti bahwa pohon selalu menjadi nyawa hutan. Lalu hutan akan memberikan nafas bagi keberlangsungan hidup mereka, kaum kota it. Tapi yang ada justru pembabatan liar tanpa memikirkan akibatnya.

Orang-orang berbondong untuk menjadi penebang kayu. Memikirkan berapa keuntungan setiap batang pohon ketika dijual. Menghitung, mengkalkulasi, memprediksi, berapa rupiah yang didapatkan. Lantas mengkhayalkan untuk menukarnya dengan mobil baru, rumah baru atau kekasih baru. Yang ada dalam dirinya adalah menguasai, memiliki padahal kenyataannya ia tak pernah sekalipun menanamnya.

Ada dua macam penebang kayu. Sebut saja orang dalam dan orang luar. Untuk tak mengatakan orang kampung dan orang kota. Orang dalam masih punya sedikit kepedulian. Ia menebang, tapi ia juga menanam. Orang luar lain lagi. Ia menebang, ia membabat, tapi tak menanam. Namun, motif keduanya sama. Mental penebang kayu. Mengeruk sebanyak mungkin keuntungan. Itu saja.

Lalu, bagaimana kalau seniman agung?

Ia sesekali akan masuk hutan. Duduk dan memandang pohon-pohon. Memandang sebagai sebuah keindahan. Tersenyum melihat pohon tua yang kuat, tegar, walau tersapu panas dan hujan bergantian. Tersenyum kembali ketika ada daun gugur di sebuah ranting yang letih. Ia tak marah ketika ada air menetes dari dahan mengenai keningnya. Mengusapnya pelan, lalu kembali tersenyum. Kemudian, ia akan kembali. Tanpa rasa ingin memiliki pohon-pohon dalam hutan itu.

Seniman agung. Ia begitu nyaman. Merasakan hembusan semilir angin yang datang. Mencium dengan mesra bau tanah yang basah. Bahkan, ia akan tiduran di rumput atau sebentuk akar yang menyembul ke permukaan. Ia akan membiarkan matahari mengenai wajahnya, ketika melewati ranting-ranting daun yang digoyang angin. Ia merasa begitu sunyi, merasakan keheningan yang sangat. Merasakan suasa nyaman. Pada saat itulah, ia tak menuntut sebuah kebahagiaan, sebab kebahagiaan yang akan suka rela datang menghampirinya. Setelahnya, ia akan keluar dari hutan. Kembali menjalani aktivitasnya. Tentu sebagai manusia.

Seorang penebang kayu dan seniman agung. Dua sosok yang, saya kira akan menghiasai kehidupan ini. Siapapun boleh memilih dengan kesadaran sendiri. Tak ada seorangpun yang bisa memaksakan untuk bisa menjadi yang pertama atau yang kedua. Setiap orang, setiap manusia, sesuai dengan motif masing-masing akan memutuskan kira-kira akan memilih yang mana.

Tapi rasa-rasanya pilihan kedua menarik. Seniman agung, ya ya ya. Sebuah wajah yang benar-benar paripurna. Membiarkan pohon akan damai pada duniannya. Akan membiarkannya nyaman. Belajar untuk tulus mencintai, tanpa ada harapan apapun kepadanya. Sebab kalau ada, itulah pamrih. Memang, ini sebuah tindakan konyol. Apa boleh buat, seperti seniman agung, begitulah adanya.

Lalu, menjadi sang penebang kayu. Ah rasa-rasanya menjadi semacam itu kurang menyenangkan juga. Pohon-pohon akan selalu menderita. Tapi menjadi semacam seniman agung, rasa-rasanya terlalu berat untuk bisa. Entahlah, mungkin lebih baik menjadi orang dalam saja, menjadi seperti orang kampung di pinggir hutan. Terus menanam benih cinta untuk tumbuhnya pohon kehidupan. Biarkan sang penebang kayu merobohkannya. Tapi, semoga saja sang seniman agung sempat menikmati keindahannya. []

*Penulis, tinggal di pinggir Jakarta.

1 Response to "Penebang Kayu dan Seniman Agung"

Frank mengatakan...

artikel yang keren mas...


salam blogger aja ya,.