Ziarah "Cinta" Lebaran


Ziarah "Cinta" Lebaran

Karena, kecuali Tuhan,
tidak ada sesuatu yang kekal abadi.

(Rumi, penyair sufistik)

Lebaran 2009, saya mengawali dengan berziarah.

Pada sebuah pemakaman, seorang ibu bercerita,
tentang anaknya yang telah meninggal dunia.

Saya, dengan khusuk mendengarnya.
Kira-kira, seperti ini kisahnya...

Anaknya tutup usia pada umur yang masih cukup muda, 19 tahun. Doddy Makoto namanya. Sekira beberapa tahun silam. Baru saja lulus SMA. Rasanya, mana ada seorang ibu yang tak sedih dan berduka pertamakali mendengar kabar anaknya telah meninggal. Kesedihan itu nampak ketika saya mendengar tuturna, walau kemudian saya menyadari pelan-pelan sejatinya wajah keikhlasan yang diperlihatkannya.

Kematian itu karena sebuah kecelakaan motor. Waktu itu anaknya membonceng motor temannya pada kecepatan tinggi, 110 km/jam. Cukup kencang memang. Lalu tiba-tiba motor menabrak pohon. Dan terlempar ke jalan. Anaknya masuk rumah sakit sebentar dan dinyatakan meninggal. Sementara temannya yang di depan hanya luka, tak sampai kehilangan nyawa. Kejadian tersebut tentu membuat terkejut seluruh anggota keluargannya pada waktu itu.

Tak ada tanda-tanda berarti sebelum kejadian itu...

Hanya, sang ibu bercerita ada sedikit yang beda. Anak lelakinya itu, beberapa hari sebelum meninggal begitu dekat dengan sang ibu. Ia juga tiba-tiba berpesan rada aneh, justru kepada ibunya. Katanya “Mah, jangan marahin adek-adek ya kasihan”. Sederhana memang, tapi itulah kata-kata terakhir yang dikenang sang ibu. Selain itu, sebuah pesan kecil, kalau bisa tembok rumah segera dicat. Katanya biar kalau teman-temannya datang nggak malu-maluin. Maklum, adek-adeknya, karena masih anak kecil sering corat-coret tembok.

Begitulah. Saya tak tahu. Mungkin ini yang sering disebut orang dengan firasat. Sebuah peristiwa yang kadang dialami oleh mereka yang akan ditinggalkan orang tercinta disekitarnya. Entahlah, saya hanya sekedar mengikuti cerita itu. Setelahnya, saya dan beberapa anak sang ibu tersebut mendekat ke makam. Mulai berdoa, semua terdiam, menunduk, memohon doa agar almarhum mendapat kebahagiaan di alam sana. Lalu sama-sama menabur bunga di atas makam itu.

Bagi saya, ini sebuah pengalaman religius tersendiri. Sengaja ziarah ke sebuah makam, jujur seingat saya belum pernah melakukan. Bahkan untuk khusuk mendoakan orang yang telah meninggal, kayaknya juga belum pernah. Dan pengalaman ini tentu saja membuat diri semakin ingat bahwa kematian itu kadang datang tiba-tiba. Menjadi sebuah momentum berkomtemplasi, menjadi bahan perenuangan agar semakin sadar untuk memanfaatkan umur sebaik mungkin. Tentu dengan amal-amal baik yang menyertai sebagai bekal kembali.

Sementara, dari pertemuan dengan sang ibu tadi, walau sementara, saya juga mesti belajar tentang arti ketabahan, keikhlasan dan tentu saja kesabaran. Bagaimana tidak, sang ibu tadi, sependek yang saya tahu, sampai kini telah berhasil membesarkan ke-enam anaknya seorang diri. Ya, seorang diri. Suaminya, entahlah, saya belum berkesempatan mendengar kabarnya.

Salah satu anaknya, kebetulan sahabat baik saya. Dia seorang muallaf walau telah memakai jilbab (gaul sih), gadis pecinta buku, perempuan mengasyikkan dan enak diajak ngobrol dan tentu saja dia itu lucu. Walau Soal selera semuanya memang berbeda. Contoh kecil saya suka merah, dia suka biru, saya anti cabe, dia sangat suka makanan pedas, dia begitu suka duren, saya nggak doyan sama sekali, dia slowr rock, saya punk rock, saya ingin jadi novelis, dia ngebet banget jadi artis. Yang terakhir ini, setiap saya tanya kembali selalu kukuh. Jadi artis. Buset dah. Tapi saya tahu dia hanya becanda. Ho..ho.

Semoga sifat-sifat baik sang ibu tadi menurun kepada anak-anaknya. Termasuk menurun pada anak gadisnya yang satu itu.

Setelah beberapa lama, dan matahari mulai genit dengan sinar panasnya, kami pun meninggalkan pemakaman di bilangan Jakarta Selatan itu. Pelan, kami meninggalkan rumah terakhir manusia itu. Iseng saya kembali menoleh ke belakang.

Barisan pohon-pohon dan dedaunan ikut menggoda, seolah berkata “Kawan, semoga sang ibu itu kelak menjadi ibumu juga”....

Teringat Novel Sang Al-Chemist karya Paulo Coelho, penulis idola saya

“Ketika kamu punya keinginan baik, maka seluruh alam raya akan bersatu padu mendukungmu”

Dan, saya hanya bisa tersenyum...

Rumah Kelana, akhir September 2009

6 Responses to "Ziarah "Cinta" Lebaran"

dhodie mengatakan...

Quote terakhir itu saya pun suka. Tambahan pula, seorang Yohannes Surya, pencetak bibit-bibit juara Olimpiade Fisika kita menggunakan prinsip yang sama, Mestakung (semesta mendukung).

Rumah barunya keren, bro :-D

ajengkol mengatakan...

tulisan yang sangat menyentuh

penakayu mengatakan...

om doddy@sep tambahannya
ajengkol@ nama aslinya sapa neh he he

salam deblogger :-)

Anonim mengatakan...

wah,,,kayaknya lagi ada niat di balik ziarah nih...moga niat baik ya,,,dan yg terpenting berdoa untuk ahli makamnya bener ikhlas lillah bukan kerana ...ya?
makin hari makin keren aja bahasanya mas yons...teruskan ya...

pyuriko mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
penakayu mengatakan...

anonim@amien btw siapa neh? :-)
yuriko@oooh semoga dia bahagia liat adeknya menikah :-)