Kritik Sinetron Ramadhan
:sudaryono achmad
(Pengamat media, tinggal di Jakarta)
Tayangan sinetron ramadhan belum cukup baik. Begitu pendapat saya ketika ditanya mengenai tayangan ramadhan, khususnya program sinetron yang ditayangkan. Jawaban tersebut sengaja saya jawab agak diplomatis untuk tak mengatakan tayangan tersebut sepenuhnya masih terlampau buruk untuk kesehatan jiwa. Tidak enak sama para pegiat, awak dan para pemain sinetron.
Mengenai sinetron sendiri, saya kerap mencuri waktu untuk sekedar menonton tayangan sinetron “Para Pencari Tuhan (3)”. Saya kira sinetron tersebut, lumayan baik. Mencoba menterjemahkan ajaran-ajaran agama (Islam) dalam serangkaian adegan dan dialog. Dikemas dalam tayangan yang lucu dan tentu saja menghibur. Jujur saya tak rugi waktu ketika menonton tayangan tersebut. Kita patur memberi acungan jempol kepada Wahyu HS, sang penulis skenario.
Selebihnya, saya tak banyak menonton tayangan sinetron yang ada. Mengenai tayangan sinetron sendiri, ada pemantauan dan kajian menarik yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kita patut memberikan apresiasi kepada lembaga ini yang turut serta melakukan pemantauan media dikala sangat jarang lembaga lain yang melakukannya.
Hasilnya, MUI mencatat bahwa tayangan sinetron yang ada belum sesuai dengan spirit ramadhan. Ciri umum ketidaksesuaian dengan spirit ramadhan adalah banyaknya dialog dan adegan yang saling merendahkan, melecehkan, serta makian kasar. Selain itu, spirit Ramadhan hanya diserap sebagian program dan hanya sekadar aspek simboliknya. Bahkan bukan simbol Islam, tapi simbol budaya Arab, seperti unta, aksen bicara bergaya Arab, dan padang pasir.
MUI juga mengkritik setidaknya tiga sinetron yang ada. Ketiga sinetron tersebut adalah Tangisan Isabela pukul 18.00-19.00, Jiran yang ditayangkan pukul 19.00-20.00, dan sinetron Inayah pada pukul 20.00-21.00. Ditayangkan oleh stasiun televisi Indosiar.
Dalam Tangisan Isabela (Produksi Soraya Intercine Film) , di sana sangat kental kata-kata kasar secara vulgar. Misalnya adu jotos dan adu mulut antara Imran dan Faris hingga Imran menodongkan pistol di pelipis Faris. Begitu juga berhamburannya kata-kata kasar dan makian di antara keduanya. Tayangan ini juga dinilai merendahkan dan melecehkan martabat perempuan. Misalnya tampak dalam adegan menyakiti, menculik, menyandera hingga mengikat Isabela di tempat tidur. Pada adegan tersebut, orang-orang di sekitar membiarkan dan tidak ada tindakan atau ucapan yang mengoreksi tindakan tersebut.
Pada sinetron Jiran (Diproduseri Ram Soraya) menonjolkan adegan kekerasan secara vulgar. Contohnya, kekerasan terhadap Jiran oleh kerabat Sultan dalam upaya menyakiti Jiran dan menggugurkan kandungan. Sinetron Jiran dianggap minim unsur pendidikan dan hanya membangkitkan sentimen anti-Malaysia.
Sementara, dalam sinetron Inayah penuh dengan kekerasan dan tidak mendidik. Jam tayang Inayah digeser setelah tarawih, sepertinya sinetron ini berusaha memanjakan penontonnya walau Ramadhan, dengan menunggu mereka pulang tarawih. Begitu pantauan MUI yang cukup detail dan saya kira kita perlu berterimakasih pada lembaga ini yang masih mau susah-susah memantau media.
Kajian lain, kali ini dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang juga mencatat dan memberikan data menarik (dalam pekan pertama ramadhan), Hasil pantauaan secara umum, ditemukan setidaknya ada 450 adegan yang tidak layak tayang pada program Ramadhan. Adegan tersebut mengandung unsur kekerasan dan pelecehan dalam tayangan yang ditampilkan. Tentu termasuk dalam tayangan sinetron.
Mencermati kenyataan demikian, apa yang perlu kita lakukan? Selama ini, kita mungkin dibuat jengkel atas tayangan-tayangan tersebut. Namun, kejengkelan tersebut hanya kita simpan dalam hati saja. Tentu, yang demikian belum produktif dalam konteks perubahan. Kita (sebagai publik) perlu melakukan langkah-langkah solutif yang lebih nyata.
Selama ini, memang telah ada semacam gerakan HARI TANPA TV, digagas oleh Kidia (Kritis Media untuk Anak), salah satu lembaga yang fokus dalam pemantauan media, khususnya yang berkaitan dengan tayangan terkait isu anak. Gerakan moral demikian penting untuk membangkitkan kesadaran akan perlunya sikap kritis dalam bermedia (mengkonsumsi televisi).
Selain gerakan moral, gerakan yang selangkah lebih maju juga perlu dilakukan dalam rangka mewujudkan tayangan sinetron maupun tayangan televisi lain menuju lebih baik. Baru-baru ini, sebuah lembaga yang menamakan diri Communicare Institute (Sentra Kajian Media dan Budaya Massa) yang bermarkas di Depok membuat gerakan yang disebutnya gerakan “Sejuta Surat Protes untuk Tayangan Televisi Bermasalah”. Saya kira gerakan ini perlu kita dukung sama-sama demi perubahan dari kuasa media (televisi) menjadi kuasa publik.
Teknisnya, sederhana saja. Jika Anda merasa ada tayangan televisi yang bermasalah. Tiap satu orang yang peduli, silakan mengirimkan satu surat protes baik ke KPI, maupun televisi yang bersangkutan, untuk setiap program televisi yang bermasalah. Bentuknya bisa melalui surat, SMS, e-mail yang berisi protes dan keberatan atas sebuah tayangan. Peduli dengan gerakan ini? Take Action. Lakukan sekarang juga. [ ]
Cikeas, 14 September 2009
:sudaryono achmad
(Pengamat media, tinggal di Jakarta)
Tayangan sinetron ramadhan belum cukup baik. Begitu pendapat saya ketika ditanya mengenai tayangan ramadhan, khususnya program sinetron yang ditayangkan. Jawaban tersebut sengaja saya jawab agak diplomatis untuk tak mengatakan tayangan tersebut sepenuhnya masih terlampau buruk untuk kesehatan jiwa. Tidak enak sama para pegiat, awak dan para pemain sinetron.
Mengenai sinetron sendiri, saya kerap mencuri waktu untuk sekedar menonton tayangan sinetron “Para Pencari Tuhan (3)”. Saya kira sinetron tersebut, lumayan baik. Mencoba menterjemahkan ajaran-ajaran agama (Islam) dalam serangkaian adegan dan dialog. Dikemas dalam tayangan yang lucu dan tentu saja menghibur. Jujur saya tak rugi waktu ketika menonton tayangan tersebut. Kita patur memberi acungan jempol kepada Wahyu HS, sang penulis skenario.
Selebihnya, saya tak banyak menonton tayangan sinetron yang ada. Mengenai tayangan sinetron sendiri, ada pemantauan dan kajian menarik yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kita patut memberikan apresiasi kepada lembaga ini yang turut serta melakukan pemantauan media dikala sangat jarang lembaga lain yang melakukannya.
Hasilnya, MUI mencatat bahwa tayangan sinetron yang ada belum sesuai dengan spirit ramadhan. Ciri umum ketidaksesuaian dengan spirit ramadhan adalah banyaknya dialog dan adegan yang saling merendahkan, melecehkan, serta makian kasar. Selain itu, spirit Ramadhan hanya diserap sebagian program dan hanya sekadar aspek simboliknya. Bahkan bukan simbol Islam, tapi simbol budaya Arab, seperti unta, aksen bicara bergaya Arab, dan padang pasir.
MUI juga mengkritik setidaknya tiga sinetron yang ada. Ketiga sinetron tersebut adalah Tangisan Isabela pukul 18.00-19.00, Jiran yang ditayangkan pukul 19.00-20.00, dan sinetron Inayah pada pukul 20.00-21.00. Ditayangkan oleh stasiun televisi Indosiar.
Dalam Tangisan Isabela (Produksi Soraya Intercine Film) , di sana sangat kental kata-kata kasar secara vulgar. Misalnya adu jotos dan adu mulut antara Imran dan Faris hingga Imran menodongkan pistol di pelipis Faris. Begitu juga berhamburannya kata-kata kasar dan makian di antara keduanya. Tayangan ini juga dinilai merendahkan dan melecehkan martabat perempuan. Misalnya tampak dalam adegan menyakiti, menculik, menyandera hingga mengikat Isabela di tempat tidur. Pada adegan tersebut, orang-orang di sekitar membiarkan dan tidak ada tindakan atau ucapan yang mengoreksi tindakan tersebut.
Pada sinetron Jiran (Diproduseri Ram Soraya) menonjolkan adegan kekerasan secara vulgar. Contohnya, kekerasan terhadap Jiran oleh kerabat Sultan dalam upaya menyakiti Jiran dan menggugurkan kandungan. Sinetron Jiran dianggap minim unsur pendidikan dan hanya membangkitkan sentimen anti-Malaysia.
Sementara, dalam sinetron Inayah penuh dengan kekerasan dan tidak mendidik. Jam tayang Inayah digeser setelah tarawih, sepertinya sinetron ini berusaha memanjakan penontonnya walau Ramadhan, dengan menunggu mereka pulang tarawih. Begitu pantauan MUI yang cukup detail dan saya kira kita perlu berterimakasih pada lembaga ini yang masih mau susah-susah memantau media.
Kajian lain, kali ini dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang juga mencatat dan memberikan data menarik (dalam pekan pertama ramadhan), Hasil pantauaan secara umum, ditemukan setidaknya ada 450 adegan yang tidak layak tayang pada program Ramadhan. Adegan tersebut mengandung unsur kekerasan dan pelecehan dalam tayangan yang ditampilkan. Tentu termasuk dalam tayangan sinetron.
Mencermati kenyataan demikian, apa yang perlu kita lakukan? Selama ini, kita mungkin dibuat jengkel atas tayangan-tayangan tersebut. Namun, kejengkelan tersebut hanya kita simpan dalam hati saja. Tentu, yang demikian belum produktif dalam konteks perubahan. Kita (sebagai publik) perlu melakukan langkah-langkah solutif yang lebih nyata.
Selama ini, memang telah ada semacam gerakan HARI TANPA TV, digagas oleh Kidia (Kritis Media untuk Anak), salah satu lembaga yang fokus dalam pemantauan media, khususnya yang berkaitan dengan tayangan terkait isu anak. Gerakan moral demikian penting untuk membangkitkan kesadaran akan perlunya sikap kritis dalam bermedia (mengkonsumsi televisi).
Selain gerakan moral, gerakan yang selangkah lebih maju juga perlu dilakukan dalam rangka mewujudkan tayangan sinetron maupun tayangan televisi lain menuju lebih baik. Baru-baru ini, sebuah lembaga yang menamakan diri Communicare Institute (Sentra Kajian Media dan Budaya Massa) yang bermarkas di Depok membuat gerakan yang disebutnya gerakan “Sejuta Surat Protes untuk Tayangan Televisi Bermasalah”. Saya kira gerakan ini perlu kita dukung sama-sama demi perubahan dari kuasa media (televisi) menjadi kuasa publik.
Teknisnya, sederhana saja. Jika Anda merasa ada tayangan televisi yang bermasalah. Tiap satu orang yang peduli, silakan mengirimkan satu surat protes baik ke KPI, maupun televisi yang bersangkutan, untuk setiap program televisi yang bermasalah. Bentuknya bisa melalui surat, SMS, e-mail yang berisi protes dan keberatan atas sebuah tayangan. Peduli dengan gerakan ini? Take Action. Lakukan sekarang juga. [ ]
Cikeas, 14 September 2009
1 Response to "Kritik Sinetron Ramadhan"
Saya termasuk yang meluangkan waktu menonton PTT3 terlepas dari kekurangan disana sini sinetron ini masih layak di tonton di tengah hingar bingar sinetron yang makin nggak jelas
Posting Komentar