Klakson : Simbol Kemarahan?

Klakson : Simbol Kemarahan?
Oleh
Yon’s Revolta


Kebajikan sekecil apapun, pada
akhirnya akan membahagiakan

bagi diri maupun orang lain



Jakarta Macet. Sudah tak asing lagi kedengarannya. Yah, sudah pemandangan sehari-hari. Walaupun begitu, tetap saja sampai saat ini belum ada solusi jitu untuk mengantisipasinya. Warga Jakarta harus berdamai dengan kenyataan, memutar otak, memikir sendiri cara tepat agar tak terjebak macet di jalanan. Bagi yang punya mobil, kadangkala harus mengalah untuk mengendarai motor saja agar cepat sampai tujuan.


Bagi yang menggunakan kendaraan umum harus pintar-pintar mengatur rencana, mengalokasikan waktu dari jadwal sebagai cadangan agar tidak terlambat. Apalagi bagi para pekerja kantoran, sering terlambat berarti sering melihat wajah masam sang “Big Bos”. Begitu tak mengenakkan bukan?


Suasana macet di jalan memang tak pernah kita harapkan. Tapi toh ia begitu sering menggoda kita, seolah menguji kesabaran dan kejengkelan kita. Ingat-ingat saja, jika sedang macet, kita bisa saksikan bagaimana teriakan suara klakson memekakkan telinga. Bersaut-sautan membuat riuh suasana, membuat bising saja. Menyebalkan, sudah tentu. Tapi kalau dipikir-pikir, sejatinya (saya) kita sendiri penyebabnya, kita sendiri menyebalkan juga. Kita lah yang menciptakan suasana itu. Memencet klakson seenaknya tanpa kita sadari, terang membuat jengkel orang lain. “Apa boleh buat, aku harus cepat-cepat sampai kantor”. Begitu pikir kita. Dilain sisi, orang yang terjebak macet itu juga akan berpikir sama. Klop sudah.


Begitulah keadaannya. Lagi-lagi kehidupan memang sering berkebalikan dengan keinginan hati kita, impian jiwa kita. Lalu, kita pun perlu berkompromi dengan nafas dunia. Kemacetan, hanya sebagian kecil saja fenomena kehidupan ini, terlalu remeh kalau terlalu dimasukkan ke dalam hati. Seperti dalam sejarah kehidupan, orang-orang besar tak pernah terlalu ambil pusing dengan hal remeh temeh karena baginya persoalan-persoalan sepele itu telah usai. Namun, bagi kita, orang awam, menjadi orang besar adalah proses. Tak perlu enggan kita diam-diam mengakuinya bahwa kita memang belum pantas untuk dikatakan sebagai orang besar.


Kita masih perlu terus belajar merangkai kedewasaan, mensikapi berbagai pernik kehidupan seperti dalam kasus kemacetan ini. Misalnya, di kasus lain yang terkait, kita pasti pernah mengalami berada di dalam perempatan jalan baik mengendarai motor, mobil maupun angkutan umum di saat lampu merah menyala. Biasanya klakson kendaraan terdiam. Tapi dengarlah ketika lampu hijau mulai menyala. Tanpa dikomando, biasanya klakson langsung terdengar bersahut-sahutan.


Padahal, semua orang menyadari di saat lampu merah menyala tentu semua kendaraan berhenti dan mereka tak mungkin langsung tancap gas, biasanya menunggu kendaraan di depannya dulu berjalan. Tapi, tetap saja klakson memekakkan telinga, membuat gaduh, membuat bising. Kalau sedikit saja kita punya kesabaran, bisa mengelola kesabaran, sebenarnya kebisingan klakson bisa terhindarkan. Tahan sedikit apa susahnya.


Saya yakin semua orang tak nyaman mendengar suara klakson yang dipergunakan secara berlebihan. Saya pun juga begitu. Kalau boleh jujur, saya benci kegaduhan, saya benci kebisingan. Sebaliknya, saya perindu kesunyian, pecinta ketenangan, pendamba kedamaian. Suara klakson berlebihan, bukanlah harapan. Nasibnya sekarang, klakson tidak lagi sebatas digunakan sebagai tanda peringatan. Tapi, telah berubah fungsi menjadi simbol kejengkelan, simbol kemarahan.


Kita mungkin sering tak sadar dengan hal ini, tapi bisa jadi kita sering sekali melakukannya. Memperalat klakson untuk meluahkan kemarahan kita. Pada akhirnya, kita pun harus berinstropeksi diri. Sejatinya kita ini masih makhluk kerdil, masih perlu belajar banyak soal kebajikan, salah satunya menggunakan klakson sebagaimana fungsinya, tak perlu berlebihan. Terlihat sepele, namun penting.

6 Responses to "Klakson : Simbol Kemarahan?"

Anonim mengatakan...

orang kita tangannya memang gatel... pengennya mencet apapun yang bisa dipencet

Anonim mengatakan...

iya..mmg kudu sabaaaaaaaaaaaaar..he2
aplg d tengah kota..pengalamn pribadi brkata bgitu..kmrn, ampir aja aku trjatuh n mgkn bs jd trseret ma metromini d dkt perempatn kuningan Gatot Subroto..kbiasaan nurunin penumpang tp msh smbil jln ..Alhamdulillah Alloh msh melindungiku..
Hati2 ya ikhwah, mg Alloh sll mberi prlindungn pd kita..baca basmallah dulu ya sblm brkt :)

catatan salwangga mengatakan...

emang kian banyak orang kasar daripada sabar. kasar aja masih ga kebagian jalan, gimana sabar?

tapi, semoga kesadaran selalu berpihak kepadaku.

Anonim mengatakan...

tapi emang sih suka ada yang bikin kesel, udah ngantri lampu merah begitu lama, eh pas ijo yg depannya lagi asik nelpon ato smsan gag jalan2 hehehe

tapi ya itu tadi..musti sabar.. dan saya juga setuju untuk tdk menggunakan klakson berlebihan :)

Anonim mengatakan...

setuju banget, untuk tidak menggunakan klakson secara berlebihan, aku termasuk orang yang jarang sekali menggunakan klakson.

Percaya atau tidak, cara kita memencet klakson dapat menunjukkan suasana hati kita, marah atau hanya ingin mengingatkan (masih dalam kesabaran)

Anonim mengatakan...

kadang lebih baik cuek dan tidak membalas klakson meski nantinya hujan klakson akan semakin menderu.. itulah sebabnya kenapa semakin lama mobil dibuat 'tahan suara'. :D serba ketutup kan sekarang?