Musim Senyum

Musim Senyum
: yon’s revolta



~berapa lamakah kau akan tetap
menggelepar menggantung di sayap orang
kembangkan sayapmu sendiri,
dan terbanglah lepas
seraya menghidup udara bebas
di taman luas~


Dr. Sir M. Iqbal


Akhirnya musim senyum tiba...


Persangkaanku benar. Dan, Tuhan menjawab doa seorang manusia dengan caraNya sendiri. Suatu ketika, dengan wajah penuh tunduk, dengan hati penuh harap, dengan mulut mengalun lirih saya menebar kata ke langit tinggi “Ya Allah, berikan pekerjaan yang halal dan layak untukku”. Hari berganti, minggu berubah, bulan berlalu, akhirnya permintaan itu tergenggam sudah.

Tentu ada sejumput rasa syukur, terimakasih tak terhingga yang diam-diam terhaturkan karena saya tak lagi menganggur. Sudah mulai menjalani rutinitas layaknya orang Jawa yang merantau ke Jakarta, bekerja untuk mengatasi problem-problem eksistensial manusia kebanyakan.

Kota ini awalnya kubenci.. Sebuah kota yang jauh dari wajah kemanusiaan, kota yang keras, memperlihatkan kekejaman yang tanpa disadari bisa datang tiba-tiba. Belum lagi, kemacetan, banjir, bising kendaraan, serta polusi udara yang menyesakkan dada menjadi pemandangan keseharian. Semuanya itu menjadi alasan mengapa saya malas datang kesini. Jujur, dulu tak mau rasanya hidup dan bekerja disini.

Tapi begitulah, kadang hidup memang melenceng dari hal-hal yang kita pikirkan sebelumnya. Kali ini, saya mesti berdamai dengan keadaan. Tepatnya, mencoba dan belajar untuk mengakrabi dunia dan suasana yang berbeda dari sebelumnya.

Seorang kawan, pernah meledek “Awas jangan sampai kau menjadi drakula di Jakarta”. Aha..semoga saja tidak. Memang, diakui atau tidak di Jakarta banyak drakula yang masih berwujud manusia hidup. Ia menghisap sesama, membuang ke tong sampah naluri kemanusiaan. Yang ada hanyalah bagaimana bisa menghisap keuntungan sepuas mungkin, sebanyak mungkin.

Rasa welas kasih, saling tolong menolong, saling membantu, peduli terhadap sesama, tak ada dalam kamus. Wujud nyatanya, misalnya majikan yang menyuruh kerja pembantu full time (24 jam) tanpa istirahat yang cukup, bos yang semena-mena tarhadap karyawan, atau seorang kawan yang mengkhianati, menelikung kawan sendiri dan masih banyak lagi. Naluri buruk semacam itu semoga tidak datang, tidak menghinggapi diri ini.

Kini, saya sedang menikmati musim senyum itu. Mulai dari bangun dan mencium bau pagi, bergegas menuju kantor jangan sampai lewat pukul 09.00 lalu berkutat dengan file-file pekerjaan, kemudian menyapa klien di beberapa institusi pendidikan. Selain pekerjaan pokok, beruntung saya masih punya waktu sisa untuk membaca novel-novel bagus, mengikuti gathering para pecinta sastra dan tentunya menulis sajak-sajak senja. Sampai selepas ashar, saya sudah bisa pulang ke rumah.

Saya mencoba menikmati gaya hidup baru ini. Siapa tahu Jakarta kota peruntungan saya. Seperti yang sering terjadi, yang sering kita benci, ada kalanya malah datang menyapa dan diam-diam mendatangkan cinta. Saya harap begitu, siapa tahu di Jakarta ini saya bisa membuka mata tentang sosok yang sekian lama terindukan. Siapa tahu, disinilah saya bisa kembali merampungkan kuliah yang sebelumnya sempat tertatih-tatih, siapa tahu, di kota inilah keadaan dan nasib bisa berubah. Siapa tahu...siapa tahu...

2 Responses to "Musim Senyum"

Anonim mengatakan...

haruskah saya senyum hari ini?? ^^

Anonim mengatakan...

semoga kata ;siapa tahu ,,,akan disusul dengan kata mudah2an kesampaian,

mas yons ,,,,selamat ya,,,semoga kesuksesan selalu menyertai langkah mas yons