Sepakbola Kemanusiaan

Sepakbola Kemanusiaan
Oleh
Yon’s Revolta

Saya bukan penggila bola. Tak tahu soal tetek bengek permainan sepakbola. Menonton sepakbola juga tak terlalu suka. Daripada menonton sepakbola berjam-jam, lebih baik waktu digunakan untuk yang lain. Sesuatu yang lebih bermanfaat menurut saya, baca buku misalnya. Memang, ini sangat subyektif sekali. Tapi begitulah, kenyataannya saya memang tak suka bola, bagaimana lagi. Kalaupun nonton, paling pas penayangan beritanya, gol-golnya, itu sudahlah cukup. Hanya, agar tak ketinggalan ketika orang sedang membicarakan bola, sesekali saya menyempatkan diri untuk membaca majalah atau tabloid yang mengupas soal sepak bola. Yah, biar gaul saja.

Tidak suka bola kok ngomong bola. Mungkin ada yang bertanya demikian. Begini, walapun tak suka sepakbola, justru saya sesekali tertarik dengan fenomena yang menyertai permainan sepakbola itu. Saya tak suka bicara pemain ini begini begitu, tim ini begini begitu. Justru, pernak pernik diluar sepakbola itu yang kadang hinggap dalam pikiran saya. Tentang perilaku suporter, tentang mentalitas tim, tentang penonton “gila” bola yang terasuki “sihir” budaya massa, tentang iklan bola, tentang bahasa yang digunakan para komentator dan lain lain.

Tadi pagi, tanpa sengaja, saya menemukan berita kecil dibalik pertandingan bola. Di koran online terbitan Jawa Timur, Jawa Pos. Menarik. Soal, jiwa bola. Soal spirit yang menyertai para pemain didalamnya. Yang begini saya suka karena siapapun pernah mengalaminya, walau dalam konteks berbeda. Spirit perjuangan ketika melakukan sesuatu ditambah obsesi besar yang menyertainya. Salah satunya adalah spirit kemanusiaan. Inilah yang ditunjukkan oleh para pemain Iraq yang berhasil menjuarai piala Asia.

Ceritanya memang tak pendek....

Perjuangan yang melelahkan. Betapa tidak, mereka berlaga penuh keterbatasan tapi semangat tetap luar biasa, pantang menyerah, berjuang sampai titik darah penghabisan hingga akhirnya kemenangan gemilang diraih (ini diskripsi hiperbolisnya). Spirit ini nampak dalam pengakuan Younis Mahmoud, kapten kesebelasan "Meskipun rakyat kami menderita dan persiapan ala kadarnya, kami berjuang keras dalam setiap pertandingan. Inilah yang membuat kami bisa membawa kegembiraan kepada rakyat kami," Luar biasa bukan.

Mereka berangkat dengan penuh keterbatasan. Diceritakan dalam koran itu, mereka datang dengan pesawat kelas ekonomi. Selama di Indonesia, jangankan mereka sempat berlibur ketempat tempat bagus. Untuk belanja kebutuhan yang dirasa penting saja tak cukup. Seperti yang dialami oleh Noor Sabri, penjaga gawang tim, dia berniat untuk membeli sebuah tas yang harganya Rp 560.000, tapi niat itu diurungkannya karena ternyata uang yang ada dikantong tak sampai Rp. 500 ribu. Akhirnya, tas tak jadi terbeli. Inilah gambaran bagaimana mereka datang memang dengan keterbatasan dan kekurangan.

Kemudian, takdir rasanya memang berjalan seiring semangat juang manusia. Toh, akhirnya mereka menang. Hasilnya, mereka mendapat honor sekitar 50 Milyar dari perdana menteri Uni Emirat Arab (UEA) dan dijamu dengan pesta meriah. Hebat. Tapi, bukan ini letak kesalutan saya, karena bagaimanapun juga penghargaan ini sudah wajar diterima. Justru saya tertarik dengan obsesi dan pesan mereka setelah menjuarai pertandingan “"Kami akan pulang ke Baghdad. Dan tidak akan menghentikan upaya kami untuk membawa pesan kepada para pemimpin dari partai politik dan sektor yang berbeda. Waktunya sudah tiba untuk menghentikan saling bunuh."

***

Inilah pesan kemanusiaan yang datang dari sepakbola. Mereka sangat berharap, dengan kemenangan yang diraih itu, situasi politik di negeri berangsur memulih. Tak ada lagi saling bunuh, tak ada lagi saling bantai. Sebuah pesan kemanusiaan. Sebuah pesan perdamaian. Inilah yang menarik perhatian saya. Lantas, bagaimana dengan kita, bangsa Indonesia yang masih carut maut ini. Tak usahlah banyak komentar, semua sudah memakluminya. Sikap kita yang terbaik adalah rendah hati. Belajar bersama-sama untuk memaknai arti sepakbola sebenarnya. Semangat kemenangan, tapi tak meninggalkan jiwa fair, sportif dan tak melulu mengkambing hitamkan orang (wasit) ketika kalah berlaga. Dari sepakbola, sejatinya kita bisa belajar untuk membangun kembali negeri ini. Pertanyaanya bukan bisa atau tidak bisa. Tapi kita mau atau tidak mau. Itu saja.

Rumah Kelana, 3 Agustus 2007

3 Responses to "Sepakbola Kemanusiaan"

Jaloee mengatakan...

ya kita berharap semoga kemenangan ini membawa secuil perdamaian dan kemerdekaan bagi bangsa irak.. amien

thanks atas komennya...

penakayu mengatakan...

kita berharap semuanya begitu :-)

Anonim mengatakan...

aaaaaaaaaaaaaah, semua orang ngomong bola...hampir mirip ide ne punk...gara2 baca Jawa Pos nih, tapi setidake wis terwakili sko tulisanmu...ngko yen aq yo nulis dikiro ga duwe ide, ke ke ke ke