Kenangan Bersama Ani
Oleh
Yon’s Revolta
Kali ini ada sedikit urusan organisasi. Tepatnya menemui pembicara untuk pelatihan nasional kehumasan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) bulan Agustus besok. Jauh-jauh hari memang mesti dihubungi dahulu untuk memastikan bisa datang atau tidak. Sayang, rupanya beliau terlalu sibuk. Saya bersama satu teman lainnya terpaksa mencari alternatif pembicara lain. Padahal, dari segi kompetensi bisa diandalkan dan pantas untuk dihadirkan sebagai pembicara dengan tema “Desain Media Internal”. Ya sudah, skenario kedua berjalan untuk mencari penggantinya. Begitulah, kadang kenyataan yang kita temui tak sesuai dengan rencana semula. Tapi tak mengapa, yang penting sudah berusaha. Proses yang dilalui toh menjadi pengalaman tersendiri.
Setelah urusan selesai, saatnya jalan-jalan.
Jelas, tempat pertama yang saya tuju adalah shooping center. Di Jogjakarta, tempat ini tidak menjual macam-macam barang. Satu-satunya yang dijual adalah buku. Sependek pengetahuan saya, tempat ini merupakan pusatnya buku. Kalau ngomong soal budaya intelektual dan akademis di
Di tempat ini, saya kesengsem dua majalah sastra.
Selebihnya keliling mengitari kios-kios buku yang ada, membaca-baca sepintas saja.
Tak terasa, sudah agak lama saya muter-muter, capek juga. Lantas saya berteduh dibawah pohon depan sebuah toko. Fiuhhh, walau udara panas terasakan, tapi puas setelah lihat-lihat buku. Saat berteduh itulah, seorang anak perempuan mengampiriku, mengulurkan tangannya. Saya terdiam, lantas menatap matanya. Mulailah ngobrol dengannya.
Awalnya agak canggung…
“Udah makan ?”
Dia mengangguk Berangkat dari situ, obrolan berlanjut. Perempuan kecil itu mengaku namanya Ani, berumur 7 tahun. Tak sekolah. Dari pagi sampai jam empat sore muter-muter minta uang kepada para pengunjung kios buku. Waktu dia mendekati saya, uang seribu limaratus ada digenggaman tanganya. Setelah banyak ngobrol, dia mulai bisa tersenyum dan tidak canggung lagi. Saya tanya lagi “ Ani kalau sudar besar mau jadi apa..?”. Dengan mantap dijawabnya “Jadi dokter”. “Duh, untuk jadi dokter harus sekolah” kata saya. Dia terdiam. Saya merasa tak enak.
Kemudian saya alihkan pembicaraan seputar keluarganya. Dari pembicaraan itu saya jadi tahu, dia punya beberapa saudara. Orang tuanya (ayah, ibu) juga masih sehat. Tinggal di daerah Beteng. Seorang nenek penjuah buah yang berada di dekat saya rupanya mendengarkan diam-diam. Waktu saya asik ngobrol dengan Ani, nenek itu nyeletuk juga akhirnya. “Mas, Ani itu memang sengaja diumbar”. Oh……
Mendapati kenyataan itu, saya tanya ke teman saya yang membersamai jalan-jalan. “Bro, apa pendapatmu tentang fenomena ini”. Katanya “Wah, itu mah keluarga tidak bertanggungjawab”. Hem…mungkin begitulah. Seorang suami sudah semestinya memberikan rizki dan nafkah kepada istrinya. Dalam kasus ini malah terbolak-balik. Sang anak yang seharusnya mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tuanya justru dipekerjakan untuk memenuhi kebutuhan orang tuanya. Ironis.
Saat saya termenung, Ani berbisik pelan “Mas, pamit dulu yah, mau pulang”. “O ya ya, makasih yah” kata saya sambil menyelipkan selembar uang untuknya. Saya bergegas menuju kost teman saya untuk istirahat. Sebelum meninggalkan tempat itu, saya kembali menatap Ani dari kejauhan, dia tersenyum. Lalu, malu-malu sambil membenamkan kepalanya di sela-sela tumpukan buku. Entah, berapa Ani yang ada di negeri ini.
============
Nb :
sebelum ke Jogja, sebenarnya ke Semarang dulu menemui Mr Bos yang juga pengamat media ini. Beliau alhamdulillah berkenan untuk mengisi sesi acara "Menulis Untuk Media Massa".
1. Buat Akh Akbar, Bakti, Edo (KAMMI Jogja) sukron atas servicenya yah.
2. Buat temanku yang ganteng, makasih kiriman pulsanya.
3. Buat temanku yang sangat baik, maap gak bawa oleh-oleh nich.
4. Buat Ibu SC Loknas, insyallah pembicara "Desain Media Internal" diganti Eko Prasetyo aja
4 Responses to "Kenangan Bersama Ani"
DI Jakarta juga banyak Ani-ani yang sama nasibnya seperti Ani di Yogya... sedih melihatnya.
NB:
Jadi oleh2nya gak dibawain yaaa,...???
Yaaa, gpp deh. Paling gak kan udh dpt oleh2 ceritanya....
Karenanya, saatnya menuangkan konsep peradaban kita pada tataran kerja nyata. Bukan begitu, Bro? ^_^
buat Iko : lakukan aja sepanjang kita bisa :-)
buat endah : setujuuu
Posting Komentar