Resiko Jadi Karyawan

Resiko Jadi Karyawan
Oleh
Yon’s Revolta

Selalu Mengeluh….

Ya, inilah yang sering saya dengar dari seorang teman. Dia bekerja sebagai karyawan pada sebuah institusi pendidikan. Kadang, saya bosan mendengar keluhan-keluhannya. Kalau satu dua kali, mungkin wajar dan bisa dimaklumi. Tapi, ketika hampir tiap hari mengeluh, rasanya bukan sesuatu yang normal. Macam-macam lah alasannya, mulai dari gaji yang kecil, kondisi kantor yang kurang kondusif, atau bos yang terlalu egois.

Bukan apa-apa. Maklum, saya sendiri bukan seorang karyawan. Saya seorang freelancer, sebutan keren seorang pekerja lepas. Setiap hari harus berjibaku dengan tetek bengek pekerjaan yang direncanakan dan diprogram sendiri. Tanpa ada jaminan gaji dari perusahaan tertentu. Praktis, penghasilan tergantung dari sejauhmana bisa memanajemen diri dengan sebaik mungkin agar bulan ini, dan setidaknya beberapa bulan kedepan bisa survive. Tentu saja, dibandingkan dengan teman saya yang seorang karyawan tadi, lebih mujur dia. Tapi, kok masih saja sering berkeluh kesah. Ini yang membuat saya bosan. Walau saya sadar benar, sebenarnya kasihan juga bekerja dalam tekanan begitu.

Dalam hati, saya hanya berguman, begitulah resiko seorang karyawan.

Menjadi karyawan, seperti teman saya tadi, harus disyukuri Toh, semua tak harus jadi bos. Kalau pekerjaan sebagai seorang karyawan itu menyenangkan, gaji layak, ada jaminan masa depan yang menjanjikan dan bisa sebagai aktualisasi diri, kenapa tidak. Tapi, kalau memang menjadi karyawan pada sebuah institusi maupun perusahaan tertentu hanya karena terpaksa, yah, ini persoalan lain lagi. Satu hal yang pasti, kita mesti harus menyadari resiko menjadi karyawan. Kadang memang harus “tunduk” dengan bos. Mau apa lagi, sebagai karyawan memang kerap begitu nasibnya. Saya kira, mungkin resiko ini yang semestinya disadari oleh teman saya tadi. Setidaknya, nantinya bisa berujung pada strategi apa yang mesti diperbuat agar kondisi bisa menjadi nyaman untuknya

Rasanya, ketika setiap hari “mengutuk” diri sendiri sebagai karyawan yang malang, itu terlalu berlebihan. Hidup hanya sekali, hiasai dengan sesuatu yang mengasyikkan dan menyenangkan. Seperti disarankan oleh para pakar pengembangan diri, berpikir positif saja. Bekerja secara profesional atas tugas yang dibebankan, tugas yang memang menjadi kewajibannya untuk diselesaikan dengan tepat waktu dan dengan hasil yang baik. Syukur-syukur bisa melebihi dari target yang direncanakan sebelumnya. Dengan demikian, nilai plus sebagai karyawan bisa disandang.

Siapapun yang kini menjadi karyawan, syukuri saja, betapapun kondisi yang kini dialaminya. Bekerja, menjadi karyawan itu sudah untung, dibandingkan dengan banyak orang yang masih malang melintang mencari pekerjaan. Bukankah hal ini sebuah kenikmatan tersendiri. Hanya saja, kalau memang kondisi dalam perkerjaan sedikit ada masalah. Tinggal, pandai-pandai saja mengelolanya. Cerdas dalam mengambil strategi atas keadaan yang dialaminya.

Salah satu jalannya adalah komunikasi. Bagaimana persoalan-persoalan yang ada dikomunikasikan dengan baik agar sama-sama saling bisa memahami. Mengapa saya katakan demikian, karena sering saya membaca sepintas, keluhan-keluhan yang ada tidak dikomunikasikan dengan baik. Beberapa Karyawan yang pernah saya temui, lebih sering kasak-kusuk, berkeluh kesah diluar. Dengan begitu, pimpinan tidak tahu keluhan karyawannya. Apalagi kalau pimpinannya memang egois, jarang peduli, klop sudah. Nah, kondisi semacam ini jelas tidak mengenakkan, dan merupakan bangunan yang jelek bagi budaya organiasai.

Tinggal sekarang, bagaimanana seseorang bisa mengkondisikan menjadi sesuatu yang nyaman. Semuanya tergantung pada suasana hati. Apapun yang kini sedang kita alami, rayakan dengan penuh suka cita. Menjadi karyawan, atau apapaun itu, yang paling penting adalah dedikasi dan keseriusan untuk bekerja secara maksimal dan profesional. Jika langkah ini yang diambil. Percayalah, kelak akan indah dan berhasil baik pada hasil akhirnya. Baik bagi kehidupannya, maupun institusi dan perusahaan tempatnya bekerja. Semoga.

0 Response to "Resiko Jadi Karyawan"