Karena Kuabai Keluhmu
Oleh
Yon’s Revolta
Seseorang menjadi bijaksana ketika dia mulai
Mengukur seberapa besar ketidakpeduliannya
Atas sesuatu hal
(Gian Carlo Menotti, Pemusik)
Tiga tahun lalu…
Dengan personil tiga orang, lewat cover kelompok diskusi mahasiswa “Global Institute (GI), kami nekat menyanggupi tawaran acara dari penerbit Mizan Bandung. Kami hanya punya semangat waktu itu. Selebihnya, sejumput sikap optimis bahwa semuanya akan lancar-lancar aja. Nyaris, dua minggu kami mempersiapkan segala sesuatunya agar acara lancar dan target peserta tercapai. Capek, sudah jelas terasa.
Mulai dari publikasi, persiapan tempat, sound system sampai hotel untuk pembicara. Waktu itu, kami mengadakan acara bedah buku “Quantum Writing” karya Bang Hernowo dengan sub acara talkshow kepenulisan dengan tajuk “Bagaimana Menulis Skripsi yang mengasyikkan”.
Memang acara itu dadakan. Awalnya, acara itu akan digelar di Semarang, tapi entah apa, dengan berbagai pertimbangan, gagal dilaksanakan disana. Dan, Purwokerto menjadi alternatif pelaksanaan acara itu. Kebetulan, sebelumnya saya beberapa kali saling berkirim email dengan Bang Hernowo, jadi setidaknya sudah sedikit saling kenal.
Sehari sebelum acara, kami lembur.
Masih ada sedikit pesiapan yang belum selesai, menyiapkan latar dan desain tempat untuk pembicara agar acara tidak terkesan kaku dan ada jarak dengan peserta. Saya masih ingat malam itu sudah menunjukan pukul 02.00. Salah satu personil, teman saya yang ditunjuk menjadi ketua panitia minta masukan “ Besok Aku gimana ngomongnya” Katanya. Dia menanyakan apa saja yang mesti disampaikan.
Karena sudah letih, saya jawab sekenanya saja “Udah yang penting ucapkan terimakasih kepada panitia atas kerja kerasnya sampai acara bisa berlangsung, juga kepada peserta yang telah meramaikan acara”. Dia pun mengiyakan.
Paginya, kami senang karena acara akhirnya bisa dilaksanakan dan peserta ternyata melebihi dari perkiraan sebelumnya. Satu persatu acara dimulai, setelah pembukaan acara oleh MC, tiba saatnya sambutan ketua panitia, teman saya tadi.
Dia, mengucapkan salam dengan mantab, dan mulai bicara, mengucapkan terimakasih kepada panitia. Habis itu dia terdiam di podium. Saya yang memantau dari belakang bingung, ngapain dia bengong begitu. Beberapa detik dia masih saja terdiam. Gawat pikir saja, nggak beres ini. Dari belakang, saya komat kamit dan memberi kode ke dia, tutup dengan salam aja. Setelah itu, akhirnya dia menutup salam juga. Lega rasanya. Tapi jelas, momentum itu menjadi citra buruk dimata peserta.
Sehabis memberikan sambutan, dia menghilang entah kemana. Setelah lama saya cari akhirnya ketemu di Kafe, dia minta maaf ke saya atas kejadian itu. Dari pengakuannya saya jadi tahu kalau ternyata dia demam panggung, grogi ketika bicara di depan publik. Karena sudah terlanjur, ya sudah saya maklumi saja.
Kasihan juga dia, setelah acara, dia malu bertemu saya. Merasa bersalah. Kalau ingat kejadian itu, justru saya juga punya rasa salah juga ke dia. Ya, malam itu, ketika dia mengeluh tentang “sambutan”, saya abaikan saja. Tak terlalu mempedulikannya. Andai saya bisa menangkap keluhnya, mungkin saya bisa menganti orang lain untuk memberi sambutan. Ah..pengalaman adalah guru yang terbaik. Semoga saja, saya dan kita semua tentunya lebih mempunyai empati untuk peduli terhadap keluhan-keluhan orang. Syukur-syukur bisa membantu orang-orang yang sedang kesulitan. Hari ini, lagi-lagi saya mesti belajar banyak tentang arti kepedulian.
4 Responses to "Karena Kuabai Keluhmu"
Yupz, seringkali kita terbawa asyik oleh diri sdr. Padahal, bisa jadi perhatian kecil kita mrp hal yg luar biasa bg orang lain. Ukur 'n asah terus kadar empati kita!! Siapa tahu ini mjd jalan menuju surga ^_^
yups,kita sama-sama belajar untuk lebih berempati kepada orang lain :-)
Susahnya untuk merespon tanggapan orang,... lebih asik dengan diri sendiri. Tapi yaa sudahlah, smoga gak keulang lagi.
ok dech, semoga jadi orang yang bijak yach :-)
Posting Komentar