Di Tepi Telaga

Di Tepi Telaga
Oleh
Yon’s Revolta

Lalu aku berlalu..
Dekap lintasan bening jiwaku
Membayang segores kata luka
Yang terucap dari bibir lara

Biarkan aku yang kini sendiri
Bukankah tak pernah kau temui
Bait-bait biru sejarah lalu
Yang tercecer pada sekuntum rindu

Ya....
Masih kuingat kisah-kisah lama
Tentang semusim berseminya cinta kita
Tapi ijinkan kututup senja
Aku ingin terhanyut pada beningNya

Sanggar Pelangi, 31 Januari 2007 / 07.30
=================================
Kritikan yang bagus mengenai puisi saya diatas.
Alhamdulillah , beliau berkenan membahasanya.
ini menjadi pembelajar sendiri bagi saya kedepan agar tak terlalu sensitif dan sentimentil.
Saya sengaja posting disini agar bisa menjadi pembelajaran kita bersama
salam
yr
============================================
Sobat.

Salam kenal. Saya anggota baru di milis ini, dan surat-surat listrik seperti yang Anda kirimkan ini membuat saya sangat senang, karena saya menjadi semakin yakin bahwa saya sebenarnya tidak sendiri di dunia yang bengis ini.

Sebelum lebih jauh, saya ingin memperkenalkan diri dulu. Nama saya An Ismanto. Saat ini saya bergiat di penerbit IBuKu Yogyakarta dan mendalami penulisan dan pengkajian sastra. Bersama sobat-sobat saya di calon mantan kampus saya (UNY) saya mengelola sebuah media idnependen (saya lebih suka menyebutnya media sastra jalanan) bertajuk Sastra Tempel. Hobi saya mendengarkan musik bermutu dan merenung. Menulis, tentu saja, bukan hobi, melainkan hidup dan pekerjaan saya. Demikian juga dengan membaca. Saya hidup (mencari penghasilan untuk makan, bayar kontrakan, kredit motor, makan minum cari pacar) lewat kedua aktivitas itu.

Saya sudah menerima dan membaca sajak Anda. Sebagai sesama penggemar penulisan sajak, saya pikir ada baiknya jika saya mengapresiasi sajak Anda. Apresiasi ini, tentu saja, bukan apresiasi akademik yang ketat, melainkan hasil resepsi pribadi saya.

Sajak Di Tepi Telaga bagi saya belum bisa dikategorikan sebagai sajak yang baik. Bagi saya, sebuah sajak adalah hasil maksimal yang bisa dicapai oleh seorang penyair. Sebuah sajak adalah, seturut Goenawan Mohammad dalam Di Muka Jendela, kristal kata atau pesona. Persoalannya kemudian merembes ke soal yang lebih bersifat linguistik. Sebuah kata bukan sekadar bunyi-bunyi tak beraturan. Kata adalah wujud dari kemampuan manusia untuk menaklukkan ketidakmungkinan pengucapan sesuatu emosi dan makna, pendeknya pengalaman manusia(wi). Sebuah kata menjadi bermakna ketika bunyi-bunyi yang diatur sedemikian rupa menimbulkan bentuk pengucapan yang fungsional, dan dalam konteks poetika, estetis. Walhasil, kata adalah sebuah monumen bagi kesanggupan manusia untuk mewujudkan, atau mengucapkan, sesuatu yang dianggap tidak mungkin untuk diwujudkan , atau diucapkan (saya jadi ingat kata-kata Nietzche--I love him who willeth the creation of something beyond himself, and then peristeth).

Kemudian, instrumentasi linguistik manusia mengombinasikan pelbagai bunyi yang sudah menjadi satu kata itu dengan kombinasi bunyi-bunyi yang lain menjadi sebuah kalimat dengan struktur, gramatikal, dan logika yang ketat. Inilah yang kemudian menjadi sarana komunikasi utama.

Dari kedua proses itu, puisi adalah bentuk aktivitas kebahasaan bahasa yang paling sublim, maksimal, pendeknya yang paling ultim bagaikan ayat-ayat Kitab Suci sendiri. Puisi adalah wujud dari kemampuan manusia untuk mengendalikan dirinya sendiri dan memanipulasi (atau menyiasati) bahasa. Ia, seperti kata Chairil Anwar--mengatasi kesementaraan segala--mengatasi emosi, pandangan filosofis, pengalaman empirik maupun mental, dan menghadirkan "misteri"--terma yang terkait erat dengan wacana mistisisme Kristen dan Tasawuf, bahkan Buddhisme. Dan sajak Di Tepi Telaga, bagi saya, belum menunjukkan bahwa penyairnya, dan teks itu sendiri, sudah mengatasi segala-gala yang mesti diatasi oleh eksistensi manusia.
Di Tepi Telaga bukan merupakan ungkapan buah eksistensi seorang manusia, ia masih dalam taraf ungkapan buah emosional belaka, sesaat, dari seseorang yang tak bisa menundukkan realitas eksternal di bawah eksistensinya. Ia masih menggunakan kata-kata yang biasa, dan kombinasi kata-kata yang juga sudah biasa, tidak mengajukan kebaruan dalam diksi dan kombinasi kata. Kata-katanya masih "familiar" dan tidak puitis, melainkan sentimentil. Ini bukan sajak, bagi saya, melainkan masih curhat spontan, tidak ada unsur pengendalian diri oleh manusia di dalamnya, dan tidak ada upaya untuk menunjukkan kehadiran "aku-lirik" yang unik dan otentik.

Namun, jika sajak ini masih terbuka untuk revisi (semua tulisan, sejatinya, selalu terbuka untuk revisi, kata Julia Kristeva), barangkali ia masih bisa diperbaiki. Misalnya, logika kalimat pada bait pertama: Lalu aku berlalu .../Dekap lintasan bening jiwaku/Membayang segores kata luka/Yang terucap dari bibir luka. Kalimat ini, jika diparafrase, belum selesai. Bahkan, ia tidak layak disebut kalimat. Karena, coba kita perhatikan strukturnya. Sebuah kalimat yang baik seharusnya memiliki Subyek dan Predikat (saya membaca dengan tata bahasa yang snagat elementer, bukan dengan semantik dan sintaksis, apalagi semiotik). Apa makna yang sebenarnya ingin dikomunikasikan oleh kalimat itu? Lalu aku berlalu masih bisa dilogika (lalu: keterangan waktu, aku: subyek,berlalu: predikat). Setelah itu muncul dekap lintasan bening jiwaku.


Nah, seharusnya kalimat itu (bukan dalam puisi akhirnya) berbunyi: lalu aku berlalu sambil mendekap lintasan bening jiwaku. Ini baru masuk akal. Lalu ada lagi Membayang segores luka/yang terucap dari bibir luka. Ini adalah kalimat inversi (pemindahan posisi unsur-unsur kalimat). Jika kalimat itu "normal", ia akan berbunyi Segores luka yang terucap dari bibir luka membayang. Nah, persoalannya adalah: membayang di mana? Membayang adalah kata kerja transitif, spesies kata kerja yang membutuhkan obyek atau tambahan keterangan.
Itu pencerapan saya dari segi gramatikal. Sekarang, dari segi nuansa (nuance). Setiap kata mempunyai nuansa sendiri-sendiri. Ini sudah kita tahu. Misalnya, kata kotor dan jorok, kata jorok nuansa "kekotorannya" lebih intens atau mendalam ketimbang kata kotor. Karena itu, Roman Jakobson mendefinisikan sastra sebagai karya yang menggunakan kata-kata yang unfamiliar, tidak akrab atau jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari karena telah mengalami.

"penganehan secara sengaja" oleh penulisnya. Di Tepi Telaga adalah timbunan kaa-kata, seturut Nirwan Dewanto, yang telah menghancurkan tata bahasa dengan struktur dan nuansa setiap kata yang digunakan, padahal puisi adalah wujud tertinggi kemampuan mansuia dalam menyiasati tata bahasa Indoensia yang kita cintai ini, bukan untuk menghancurkannya.

Suasana bening dan penyerahan diri yang ingin diberikan oleh puisi ini memang ampai, tetapi tidak secara estetis, secara menohok sehingga meninggalkan kesan seperti "dipukul dan menjadi sadar" pada diri pembaca. Karena, kata-kata yang digunakan, juga kombinasinya, masih bisa dijumpai dalam kehdiuapn sehari-hari, dengan kata lain sudah menjadi biasa. Walhasil, apa yang menarik dari sesuatu yang biasa? Kita mau sesuatu yang luar biasa, bukan?

Wah, saya sudah terlalu jauh dan ceriwis ya. Namun, saya pastikan, saya tidak bermaksud sok pintar. Saya hanya mengungkapkan apa yang sudah saya ketahui dan apa yang menurut saya harus terpenuhi oleh sebuah karya puisi. Saya minta maaf kalau apresiasi saya di atas membikin Anda tidak berkenan.

Saya berharap kita masih bisa berkorespondensi. Saya tunggu surat Anda yang berikutnya.
Terima kasih.

Salam.
An Ismanto

NB: Jika Anda berkenan, tolong Anda kirimkan beberapa sajak lagi kepada saya (kalau bisa jumlahnay cukup banyak) untuk saya diskusikan dengan teman-teman redaksi di Sastra Tempel.

7 Responses to "Di Tepi Telaga"

Anonim mengatakan...

eamng,ada saatnya perlu sendiri..hehhe..mantabbzzz

penakayu mengatakan...

ho oh nih bos, lagi pingin sendiri :-)

pyuriko mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Anonim mengatakan...

Semoga dgn adanya masukkan sprt ini, jadi bisa lebih baik lg menulis puisi, sajak dan sastra2 yg lain.....

Anonim mengatakan...

mencipta puisi itu mudah. kalo lagi dapat ide, suasana mendukung, bait-demi-bait puisi mengalir.

menjadi tak mudah mencipta puisi yang memiliki kekuatan kata, rasa, dan makna. butuh perenungan bermalam-malam, pencapaian kata setinggi-tingginya.

menurut saya, bila anda terus menggali, mencari, peka terhadap kritik (tentu saja kritik2 yang berkelas seperti Mas Ismanto itu), bukan tak mungkin anda akan bisa menghasilkan sajak yang baik.

penakayu mengatakan...

Buat iko, tetap selalu kunanti puisi-puisinya ^_^

penakayu mengatakan...

Buat Bang Uding, ajarilah aku tentang teori-teori menulis puisi, okeh...? di tunggu