Kepedulian Yang Hilang


Orang yang hanya memikirkan diri sendiri
Ia akan hidup sebagai orang kerdil
dan mati sebagai orang kerdil
Sementara,
orang yang mau memikirkan orang lain
Ia akan hidup sebagai orang besar
dan mati sebagai orang besar

(Sayid Qutb)

Ada sebuah kisah menarik dalam buku “Robohnya Surau Kami” karya A.A Navis, seorang sastrawan besar kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat. Didalam cerita pendek itu, tersebutlah seorang bernama Haji Saleh yang tinggal di sebuah negeri bernama Indonesia. Dia amat rajin beribadah, rajin mengajar mengaji, mengajar anak-anak menghafal AL-Quran diluar kepala, dan melakukan secara rutin segala bentuk ritual peribadatan lainnya, singkatnya dia dipandang sebagai seorang ulama yang mashur. Dia sangat optimis kelak akan masuk surga. Tapi betapa terkejutnya ketika Tuhan memasukannya kedalam neraka, dengan alasan kurang peka dan peduli terhadap nasib orang-orang dan lingkungan sekitarnya.

Diceritakan, waktu itu Indonesia bertahun-tahun dijajah oleh bangsa asing. Nah, sang haji ini menutup mata atas semua itu. Hanya beribadah, menikmati ritual saja tanpa tergerak untuk melakukan perlawanan sehingga anak cucunya tetap berada pada penjajahan asing, nasibnya melarat dan tertindas. Dia belum menyeimbangkan antara tugas menyembah Tuhan (habluminallah) dan peduli terhadap sesamanya (habluminanas). Akhirnya, keputusan Tuhan menyeretnya ke dalam neraka.

Dalam cerita itu, ada pesan yang bisa kita tangkap dimana sang penulis mengkritik para agamawan yang hanya sibuk mementingkan dirinya sendiri, ingin masuk surga sendiri hingga kurang mempedulikan nasib sesamanya, tidak mau merubah realitas pemiskinan dan penindasan yang ada di sekitarnya. Padahal keberagamaan harus menyeimbangkan kedua hal itu. Antara ketaatan untuk bersyukur kepada Tuhan dengan menjalankan perintahnya, disertai dengan amalan yang sungguh-sungguh agar dirinya bisa bermanfaat untuk orang lain.

Cerpen “Robohnya Surau Kami” itu sepertinya masih cukup relevan untuk membaca situasi kita saat ini. Kita, secara hukum yang diakui dunia internasional memang telah merdeka, tapi realitasnya, kita masih mengalami penjajahan dalam beragam bentuk, politik, agama, budaya, dan yang paling terasa adalah penjajahan ekonomi. Di pelataran penjuru kota dan pelosok-pelosok desa, kita masih sering menyaksikan drama nyata kepiluan yang dialami oleh sebagian besar rakyat ini. Banyak pengangguran, gelandangan, kaum miskin bertebaran dimana-mana dan segudang kenyataan buruk lainnya.

Lantas, apa yang salah dengan negeri ini..?

Kita kurang peduli. Ya, kata ini memang sering kita dengar. Namun, kita sepertinya masih saja belum bisa memaknai esensi kata ini untuk mengeluarkan negeri ini dari jurang keterbelakaang, kemiskinan dan penjahan. Kita belum mampu mengejawantahkan nilai-nilai peduli dalam kehidupan nyata sehingga belum mempunyai derajat yang besar untuk merubah kondisi bangsa. Memang, yang paling memungkinkan adalah besarnya kepedulian para pengelola negara untuk peduli terhadap rakyatnya dan melawan rongrongan pejajahan modern ini. Tapi, kadang semua ini mentok diharapan saja. Kita tunggu nurani kepedulian pejabat negara itu bicara, sambil kita sesekali juga perlu mengkritiknya.

Agar kita juga punya peran dan kepedulian ini menemukan makna yang sebenarnya, kita mulai saja dari lingkungan terdekat kita. Sudahkan ada perubahan yang berarti dalam kehidupan orang-orang disekitar kita, ataukah tahun dan bulan berganti tetap seperti itu-itu saja. Kalau belum, apakah yang sudah kita perbuat untuk merubah kondisi realitas disekitar kita itu. Inilah tugas kita yang masih perlu kita galakkan lagi. Tak hanya sekedar lewat kata dan janji semata. Tetapi benar-benar kita melakukan aksi yang nyata untuk meringankan beban saudara kita yang nasibnya masih belum beruntung dibanding kita. Sekecil apapun peran itu.

Jangan sampai kejadian beberapa waktu berulang. Kejadian seorang Ibu bernama Sumanti (samaran) yang memakan daging anaknya sendiri. Sungguh, ini menjadi pukulan telak nurani kemanusiaan kita. Memang, banyak penjelasan medis dan psikologis atas kasus itu. Namun, tak menutup kemungkinan penyebabnya adalah ketidakpedulian orang-orang disekitarnya. Seorang Ibu yang hamil tua, tak punya sesuatu untuk untuk mengganjal perut laparnya, hanya mengais sisa makanan yang ditemukannya. Hingga, pada suatu ketika ditemukan sedang memakan daging anaknya sendiri. Sungguh, bagi yang masih punya nurani, ini menjadi pelajaran bagi kita untuk lebih peduli lagi terhadap sesama. Sudahkah kita peduli terhadap sesama, ataukah hanya sibuk mengejar kebahagiaan diri semata..?. Ah, semoga kita bisa belajar jujur terhadap nurani kita. (yon’s revolta).

~Snow Man Alone~
Pwt, 1-12-06 / 19.10.

0 Response to "Kepedulian Yang Hilang"