Dia Sahabat Sejati

Sahabat sejati, ada yang beranggapan bahwa sahabat sejati itu dia yang menjadi tempat berbagi atas berbagai persoalan yang kita hadapi. Dia yang hadir ditengah-tengah kita ketika kondusi pelik dan sulit melanda. Dia yang selalu menasehati ketika kita melakukan kesalahan dan bahkan kemaksiatan yang kadang tidak kita sadari. Dia yang membersamai langkah kita baik ketika hadir maupun jauh terpisahkan di kota yang berbeda. Dia yang menjadi sosok tak terlupakan dalam sejarah kehidupan kita. Semuanya benar, tapi bagi saya ada tambahan lain, sahabat sejati itu dia yang menjadi inspirasi bagi sebuah kerja dakwah.

Sahabat sejati, ya..saya mempunyainya.

Dia adalah sahabat saya semenjak SMU di Begarlist High School Magelang. Dia yang kemudian mengajak saya untuk masuk pesantren Ma’had Al-Ichsan Magelang, ketika saya memasuki kelas dua SMU. Tentu saja dia berharap saya lebih bisa mengenal Islam dengan baik, maklum, sejarah sekolah saya bertahun-tahun di yayasan non Islam. Jadi, masalah pengetahuan keIslaman memang benar-benar minim sekali. Semenjak masuk Ma’had, saya belajar sedikit bahasa arab, fiqih dan juga pengetahuan Islam lainya. Subhanallah, ternyata ajaran Islam itu memang luar biasa, semua ada aturannya, mulai dari bersin sampai mengurus negara.

Di Ma’had Al-Ichsan itulah saya mulai melakukan pencarian Islam yang benar itu seperti apa bersama sahabat saya itu. Tak terkecuali aktivitas di luar Ma’had juga. Mulai dari ikutan Jamaah Tabligh (jamaah khuruj) dengan berkeliling kampung, tiga hari di kampung A, tiga hari ke kampung B, begitu seterusnya. Mengajak mereka yang belum sholat untuk bisa sholat berjamaah dan mengajak masyakat untuk tidak terlalu mencintai dunia, hidup ini sebaiknya tak menyampingkan kehidupan akhirat karena itulah esensi kehidupan sejati.

Tak hanya itu, mengaji di Jamaah Salafy juga pernah kami lakukan dengan mengikuti dauroh yang panjang, melelahkan dan membuat kening berkerut. Maklum, fiqih dakwahnya memang begitu, tegas untuk memberantas bid’ah. Tapi, walaupun begitu, salut dengan para ustadnya, bahasa arabnya fasih-fasih. Jika sedang membahas hadist juga begitu detail.

Memasuki kelas tiga SMU. Bersama sahabat saya tadi mengikuti training Pelajar Islam Indonesia (PII). Wah, dalam organisasi ini awalnya kami bingung. Di awal training, kami para peserta dibiarkan sendirian di dalam ruangan selama tiga jam lebih. “Apa-apaan ini” begitu pikir saya waktu itu. Tapi pada akhirnya saya menyadari, itu sebagai rangkaian training bagi peserta untuk menguji sejauh mana peserta bisa mengambil inisiatif untuk melakukan sesuatu. Untuk mengikuti training ini, kami terpaksa bolos sekolah selama tiga hari, begitu juga bolos masuk Ma’had. Hasilnya, hukuman sekolah lolos, tapi di Mah’had tetap kena hukuman untuk tilawah Al-Quran satu Juz didepan salah satu pengasuh, Ustadz M Ma’sum Ichsan (alm), kami juga kena denda dengam membayar sejumlah uang. Hem.. ada rasa malu tapi juga menjadi kenangan yang indah.

Bersamanya, teman sejati itu, saya terus melakukan pencarian tentang Islam yang benar…

Setelah lulus SMU, sahabat saya masuk perguruan tinggi Islam dengan belajar Komunikasi Penyiaran Islam di UIN Jogjakarta. Sementara saya bejalar Jurnalistik di kampus pemerintah di Kota Satria Purwokerto. Dia tetap istiqomah kembali masuk pesantren dan mempelajari Islam. Sementara, saya harus “terjebak” selama dua tahun dalam gerakan “kiri”, dua tahun tidak bersentuhan dengan Islam maupun teman-teman komunitas masjid kampus.

Sampai suatu ketika, kami saling bercerita tentang kondisi keislaman kita masing-masing. Pada akhirnya, kami saling tersenyum sebab di masa-masa akhir kuliah, kami telah menemukan jalan yang ternyata sama, masuk komunitas Tarbiyah, komunitas anak-anak masjid kampus. Dia masuk duluan, sementara saya belakangan. Tak masalah, hanya saja saya tentu harus mengejar ketertinggalan pemahaman Islam saya.

Sambil mengenang makan masakan gosong ketika di Ma’had, kami masih saling kontak untuk berbagi informasi tentang obsesi-obsesi dakwah kami. Dia kini berdakwah di kota nun jauh disana, Halmahera Selatan, dengan membantu kerja-kerja Pemerintah Daerah yang dipegang seorang aktivis dakwah juga. Sementara saya masih berkutat dengan impian sebuah “Rumah Baca” di Kampung saya, lereng Gunung Merapi. Sahabat sejati, dia layak menyandang itu, dialah yang sering memberikan inspirasi kerja dakwah kepada saya untuk tetap menyeru kepada kebenaran. Hingga saya menyadari bahwa saya dan kita sebagai muslim adalah seorang da’i, bahwa setiap kita adalah da’i sebelum menjadi sesuatu “nahnu du’at qabla syaii” (Kami adalah penyeru sebelum menjadi sesuatu). Terimakasih sobat, semoga Allah senantiasa memberikan yang terbaik untukmu. (yon’s revolta)

Thanks to
Suryanta Bakti Susila

~Snow Man Alone~ akhir Agustus 2006
freelance_corp (at) yahoo.com

8 Responses to "Dia Sahabat Sejati"

Hamba ALLAH mengatakan...

Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakaatuh,

Salam kenal, sesekali luangkan waktu lagi buat khuruj, 3 hari tiap bulan, 40 hari tiap tahun, 4 bulan minimal 1 kali seumur hidup..

penakayu mengatakan...

dulu sering, sekarang dah gak lagi ^_^

Hamba ALLAH mengatakan...

Sudah merasakan Manisnya Nikmat Iman, kenapa ditinggal...?? :) keep Istiqomah...

penakayu mengatakan...

Purwokerto kayaknya nggak ada dech ^_^

Hamba ALLAH mengatakan...

Mesjid-Mesjid di seluruh kabupaten di Indonesia udah ada yg hidup amalan, Temen temen dari jakarta lagi gerak disana 4 bln 40 hari... cari info... :)

Trian Hendro A. mengatakan...

wah, padahal cuman mau tanya, "udah lulus?"

jadi gimana undangannya?

-oggixmati-

penakayu mengatakan...

Lagi Niat banget lulus neh Bos ^_^, maklum masih bergulat dengan problem dasar eksistensi :-)

Lukman Nul Hakim mengatakan...

Mas Hikaru, yuk terusin kuliah ke Tanah Gandhi, banyak program beasiswa yang ditawarkan lho...
tot ziens