Lebaran yang Menyadarkan
:Yons Achmad*
Mudik itu biasa. Tapi, setiap
keluarga punya cara berbeda untuk bisa mudik bertemu keluarga. Dan
bahagia. Saya sendiri boleh dibilang
tahun ini “gagal” mudik sebelum lebaran. Artinya, tidak bisa sholat ied bareng
keluarga di kampung. Baru lebaran hari
ketiga kami bisa pulang kampung. Maklum, pakai pesawat tiket mahal, pakai bus
bisa lebih dari 12 jam. Itu tak memungkinkan karena anak kami yang kedua baru 6 bulan. Alternatifnya, kereta menuju
Jogja sebagai pilihan dan sambung mobil ke Magelang. Ternyata asyik juga naik kereta.
Akhirnya bisa bertemu kekuarga
dan 10 hari di sana, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat kami sekeluarga
bahagia. Hanya saja, kalau boleh sedikit bercerita, lebaran kali ini
benar-benar menyadarkan. Ya, menyadarkan saya atas beberapa hal.
Pertama. Bahagia itu cara
pandang. Ya, tergantung bagaimana kita memandang hidup ini. Dan kebahagiaan itu
bukan nanti. Tapi sekarang. Artinya, bahagia itu sekali lagi terkait dengan
bagaimana saat ini kita memandang hidup. Dengan cara pandang apa? Kembali kita “memeluk”
agama sebagai sandaran. Kita bukan
berusaha merasa bahagia tapi benar-benar berusaha bahagia. Kalau merasa, itu
seperti makan mie instan. Rasa ayam tapi tak ada ayamnya. Artinya tak makan
ayam. Itu sebabnya kita pastikan hari ini kita bahagia, bukan merasa atau
berpura-pura bahagia. Caranya? Islam mengajarkan, kita harus pandai-pandai
bersyukur dan bersabar dalam setiap langkah kehidupan.
Kedua. Harta penting sebagai
sarana. Di kampung saya ada yang bilang sukses kalau mudik bawa mobil. Saya tak
mau menilai pernyataan ini mutlak salah.
Tapi, menyadarkan saya bahwa harta itu memang penting, bukan sebagai tujuan tapi sarana. Contoh, dengan
adanya mobil. Bukan sebagai alat pamer. Tapi, benar-benar sebagai sarana. Untuk
bersama-sama mengunjungi saudara, bersilaturahmi, atau sekadar jalan-jalan dan
makan bersama keluarga. Itu yang menyadarkan saya.
Ketiga. Hidup harus
berkemajuan. Mengevaluasi hidup, memang perlu setiap hari. Tapi, dalam karir
boleh lah kalau setiap tahun juga lakukan evaluasi. Jujur, saya agak abai dengan urusan karir dan ini. Saya kurang mencatat dengan baik dan
detail bagaimana capaian setiap tahun, performa tiap bulan dalam satu tahun
itu. Apakah ada kemajuan dari tahun-tahun sebelumnya. Ataukah jalan di tempat
bahkan mundur. Ini yang menyadarkan saya di lebaran kali ini. Artinya,
tahun-tahun berikutnya, hidup harus
berkemajuan.
Mungkin memang biasa saja ya
cerita ini. Kurang ada penyadaran menarik. Tapi, bagi saya, ketiga catatan di
atas saya kira itulah sedikit cerita penyadaran yang sempat saya rekam di
lebaran tahun ini. Kita lihat saja, apakah di lebaran berikutnya ada cerita
lain yang lebih menyadarkan sekaligus menyegarkan. Kita lihat saja setahun
lagi.
Selamat berlebaran kawan.
Selamat berbahagia.
Palmerah, 7 Juli 2017.
0 Response to "Lebaran yang Menyadarkan"
Posting Komentar