Sepenggal Doa Dari Ujung Desa
:Yons Achmad
Lagi-lagi saya hanya bisa
bermimpi…
Untuk desa saya. Talaman,
Krogowanan, Sawangan, Magalang. Jawa Tengah. Sebagaimana jujur kukatakan,
semuanya ini masihlah berwujud doa-doa yang coba saya panjatkan diam-diam. Tentu saja, hasil akhirnya bagaimana berujung
pada kemajuan desa yang lebih baik lagi dari sebelumnya.
Berawal dari obrolan ringan
dengan sang kepada dusun. Seorang ibu muda. Sebelum kepemimpinannya, desa atau
lebih tepatnya dusun tempat saya lahir selalu nomor ujung ketika diadakan
penilaian. Baru kepemimpinannya pelan-pelan menduduki juara sampai nomor satu. Tapi, sependek pengetahuan
saya, prestasi itu masih sebatas birokrasi. Dalam arti tertib dalam urusan
pendataan atau bayar pajak misalnya.
Tapi, kehidupan masyarakatnya
masih saja belum beranjak dari sejahtera.
Seperti umumnya pekerjaan
orang desa, sebagian besar mereka menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian.
Terutama padi yang berpanen setiap empat bulan sekali. Selebihnya, ditanam
palawija juga sayur mayur. Beberapa diantaranya memelihara binatang ternak.
Sapi, kambing, bebek, juga ayam-ayam kampung.
Begitulah. Bertahun-tahun
mereka menggantungkan hidupnya. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Juga
menyekolahkan anak-anaknya. Memang,
banyak anak-anak mereka yang kemudian menjadi sarjana. Tapi rata-rata mereka
merantau ke Jakarta dan pulang setahun sekali.
Umumnya, keluarga yang
merantau ini masih berkutat pada kehidupannya pribadi. Diri dan keluarganya.
Begitu juga orang tuanya yang di kampung. Jadi, tak banyak yang memikirkan
desanya. Tentu, ini termasuk saya juga yang merantau dan masih berkutat pada
urusan pribadi dan keluarga melulu. Maklum, masih muda kami berumah tangga.
Lalu, bagaimana dengan urusan
membangun desa?
Rasa-rasanya, memang harus
diperjuangkan bersama. Tak bisa sendirian. Setidaknya, ketika ada ide atau program dari desa,
bersama-sama mewujudkannya. Untuk ide perubahan, orang yang di desa yang lebih
tahu prioritasnya. Selebihnya, untuk urusan dana biarlah orang-orang di
perantauan yang bersama-sama menanggungnya.
Kini, hanya sepenggal doa yang
bisa saya panjatkan. Agar saya dan keluarga bisa hidup lebih baik lagi. Dengan
nafkah yang cukup, sehingga sedikit-sedikit kelak bisa urun serta membangun
desa. Sebuah doa sederhana yang selalu
dan selalu saya lantunkan dalam hati. Dan saya selalu percaya, Allah pasti
mendengarnya.
Rumah Ayah: 3 Juli 2015.
0 Response to "Sepenggal Doa Dari Ujung Desa"
Posting Komentar