Ternyata Begini Rasanya Menjadi Ayah
:Yons Achmad*
“Oek..Oek..Oek” Mendengar suara itu, tangisku juga ikutan
pecah. Tangis kegembiraan. Tak pernah saya merasakan sebahagia ini. Saat, dia
lahir pertamakali ke dunia tanggal 13 Maret 2015, pukul 10 pagi. Sangat jarang
saya menitikkan air mata. Tapi kali ini, apa boleh buat. Membasah semua resah,
was-was, deg-degan tak karuan menyaksikan proses persalinan, dengan tangis
kebahagiaan yang tak bisa kubendung lagi. Rasanya itu masih seperti mimpi, tapi
bagaimana kalau mimpi itu kemudian benar-benar menjadi kenyataan? Begini
ternyata rasanya, saat tahu resmi menjadi ayah untuk seorang putri kecil kami.
Jingga Kanaya. Ini namanya. Artinya, kira-kira, “Jingga” seorang
gadis (perempuan) yang lembut seperti senja. “Kanaya” agar punya jalan
penghidupan yang tenteram, damai, merdeka dan sempurna penuh dengan limpahan
cinta. Yah, harapannya begitu. Sebuah nama sederhana yang kami pilihkan
untuknya. Karena kami juga memang
pasangan biasa yang sederhana saja. Dan
senantiasa selalu dan selalu berharap akan hidup dalam kesederhanaan, baik di
waktu yang sedang ada maupun tak ada.
Menjadi ayah…
Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Juga pada akhirnya punya anak. Menikah saja
dulu sempat maju mundur sampai usia yang tak muda lagi. Saya sekian lama lebih menyukai gaya hidup
yang soliter. Penikmat kesendirian. Makan, melakukan aktivitas, traveling,
sendirian saja. Ada kepuasaan tersendiri ketika akrab dengan kesendirian itu.
Dan saya bercengkrama dengan kesendirian dan kesunyian untuk sekian lama.
Sampai saat kumpul-kumpul dengan teman SMA. Reunian dengan alumni “Begarlist High School” SMA Negeri 2 Magelang di Jakarta, ada seorang
teman berkata “Yakin lu mau jomblo
selamanya, terus kalau kamu mati siapa yang akan mendoakan?” Jleb. Kata-kata
itu langsung menusuk ke jantung. Ada benarnya juga, dan itu satu satu inspirasi
melakukan pernikahan. Dengan seorang alumni terbaik pada sebuah kampus di Jawa
Tengah. Pertama kali saya mengenalnya di Bali. Dan 3 bulan kemudian
menikahinya.
Untuk menjadi ayah bagaimana? Saya juga belum tahu.
Barangkali, dalam setahun lebih sedikit ini saya menjadi suami yang buruk bagi
seorang istri. Ya, barangkali memang masih begitu. Belum bisa melakukan yang
terbaik untuk pasangan. Tapi apa boleh buat, biarkan masih menjadi suami yang
buruk bagi istri. Tapi, dalam hati saya hanya bisa bergumam dan berkomitmen
untuk menjadi ayah terbaik bagi anak-anak kelak.
Ruang Perawatan Persalinan. Jakarta, 14 Maret 2015 Pukul
06.34.
*Penulislepas. Penikmat Teh. Pecinta Haiku. Penggila Senja @senjakarta
0 Response to "Ternyata Begini Rasanya Menjadi Ayah"
Posting Komentar